Ketika itu, malam sedang tidak bersuka cita. Bintang yang
biasanya tidak pernah absen memberi bintik-bintik pijar di langit biru pekat,
malam itu tak ada. Langit kosong melompong. Biru tua pucat. Anak-anak pinggiran
yang biasanya memenuhi jalanan, malam itu tak terlihat satupun batang hidung
mereka. Malam yang biasanya penuh teriakan “tekong” memekakakkan telinga, malam
itu sunyi. Negara rupanya dalam keadaan yang aman, karena pemuda-pemuda yang
katanya harapan bangsa yang setiap malam membicarakan negara di antara
bongkahan kayu menyala itu pun absen.
Malam sunyi itu pecah oleh langkah kakiku. Sepatu teplek
tanpa hak yang selalu ku pakai, membuat bunyi-bunyian yang selalu muncul di
tengah langkah sunyi. Aku mengutuk diriku sendiri. Sampai di depan rumah model
tempo dulu dengan halaman luas dan pagar besi jaring, aku menyeret kakiku
pelan. Semoga tidak bersuara lagi,
batinku. Tapi usahaku untuk tidak membuat bunyi-bunyian, gagal.
100 meter di depan, seorang laki-laki berjalan ke arahku.
Sepasang earphone bertengger di telinga yang separuhnya tertutup rambut ikal panjangnya.
Ia memakai kaos berwarna hitam yang ia lapisi dengan sebuah kemeja kotak-kotak
hitam merah tanpa ia kancingkan. Celana jeans yang ia pakai bersih, meski
terlihat sudah ada kerutan di beberapa bagiannya. Tas selempang yang
menggantung di bahu kirinya nampak agak lusuh. Matanya memperhatikan langkah
kakinya. Sedang kepalanya bergerak ringan mengikuti irama yang keluar dari
earpohonenya.
Lelaki itu sudah berada 5 jengkal di depanku. Beberapa
detik mata kami sempat bertemu. Beberapa detik saja, sudah cukup membuat
jantungku bekerja sangat keras. Ia tersenyum. Lesung pipit yang malu-malu membuat
perutku bergolak, seperti ada seekor kupu-kupu yang terbang ke sana-ke mari di
dalam perut. Aku berhenti berjalan ketika ia melewatiku. Diam-diam aku memperhatikan
punggungnya. Lebar dan hangat. Tumpuan yang sempurna. Aku bisa membayangkan
hangatnya ketika aku memeluknya diam-diam dari belakang. Dari punggungnya aku
bisa merasakan dada dan bahunya yang hangat, yang membalas pelukanku. Lamunanku
buyar ketika mendengar derit pagar tua yang ia buka. Celaka! Ia melihatku
memperhatikannya. Aku buru-buru memalingkan wajah dan berjalan secepat yang aku
bisa.
***
Hujan deras mengguyur ketika
aku baru saja menghempaskan diri di atas kasur penuh buku-buku yang belum ku tata.
Aku beranjak dan membuka jendela. Ku biarkan bau tanah bertemu hujan memenuhi sudut-sudut
kamarku. Aku masih berdiri di belakang jendela, melihat air yang jatuh ke tanah
begitu bersemangatnya. Harusnya aku
sesemangat itu, pikirku. Sebuah senyum tiba-tiba seliweran di kepalaku.
Namanya Bagas. Lelaki dengan
tinggi yang tak jauh dariku. Mungkin hanya berbeda 10 cm dariku. Anak bungsu
dari dua bersaudara yang tinggal di sebelah rumah kosku. Ia selalu menyebut
dirinya musisi jalanan, padahal ia adalah seorang guru privat musik. Setiap
hari Kamis malam, ia bersama teman-teman bandnya mempunyai jadwal tetap untuk
menjadi band pengisi di café. Meski bukan café besar, aku tahu kalau ia sangat
menikmatinya. Ia pandai bermain gitar, tapi memilih drum sebagai alat yang ia
mainkan di bandnya.
Malam, hujan dan Bagas adalah
kombinasi penutup hari yang sempurna bagiku. Karena setiap malam dan hujan aku
bisa melihat Bagas berada di beranda rumahnya. Gitar yang ia mainkan di tengah
hujan tentu tak dapat ku dengar, namun aku bisa merasakan petikan gitar itu
dari sorotan mata yang kosong. Seperti ada alarm, setelah tiga puluh menit, ia
letakkan gitarnya sejenak, kemudian memasang earphone ke telinganya. Ia raih
gitarnya kembali dan memainkannya dengan lebih semangat. Kakinya lebih sering
menghentak, kepalanya bergerak lebih cepat dan jari-jemarinya berpindah dan
memetik senar-senarnya dengan penuh semangat. Gitar, malam dan hujan mungkin
adalah sesuatu yang sempurnya untuk Bagas.
***
Kamis malam. Adalah waktu
untuk mencari dan membuat berbagai macam alasan bisa berada di café. Dan malam
ini, aku memilih mengerjakan tulisan sebagai alasan. Hampir hari Kamisku tak
pernah terlewati tanpa alpha untuk berada di sini, karena itulah aku
mengharuskan segala sesuatunya rapi. Alasan terselubungku tak boleh diketahui
oleh siapapun.
“Deadline ya, mbak?” tanya
seorang pelayan café sambil mengantarkan jus sirsak pesananku.
Aku tersenyum menjawabnya. Kemudian
ia pergi sambil tersenyum. Aku kaget. Karena senyum pelayan itu menjengkelkan.
Matanya tiba-tiba mengerling menggodaku. Jangan-jangan
aku ketahuan, batinku.
Aku menggeser gelasku kemudian
terpaku kembali di depan laptop yang sudah ku siapkan. Masih ada tiga puluh
menit lagi, aku harus menggunakannya dengan hati-hati dan rapi.
“Jus sirsak dengan sedikit es
dan gula, tanpa sedotan. Benar?” tanya sebuah suara yang mengagetkanku. Aku
melihat ke arah sumber suara itu. Beberapa detik bibirku beku. Tak satupun kata
yang mampu aku keluarkan darinya. Semua kata-kata yang ku kenal mendadak
lenyap. Lethologica menyerangku di saat yang tidak tepat. Mana bisa begini?
“Menulis apa?” tanyanya
kemudian. Aku masih membeku.
“Oh iya, kita belum berkenalan
ya? Aku Bagas? Kamu?” ucapnya seraya memberikan tangannya.
“Rahma” jawabku menjabat
tangannya. Tangannya lebih besar dari tanganku. Bagian ujung-ujung jarinya
kasar, selebihnya lembut. Tanganku bergetar menyambut tangannya. Ia tersenyum. Gawat, dia pasti menertawakan tanganku yang
gemetar, batinku. Aku buru-buru menarik tanganku dan berpura-pura sibuk
kembali dengan laptop di depanku.
“Kamu sering ke sini ya?”
tanyanya kembali sambil menarik kursi kosong di samping kursiku.
Aku mengangguk. Dengan jarak sedekat
ini, aku bisa mencium wangi tubuhnya. Wangi sabun kesehatan warna merah yang
bercampur dengan keringat tipisnya. Sepertinya ia tak banyak menggunakan
parfum, tetapi wangi segarnya sangat terasa. Wajahnya juga sangat bersih. Aku
baru tahu ada tiga tahilalat kecil di wajahnya, dua di bawah mata sebelah kanan
dan satu di atas bibir kanannya. Pantas senyumnya manis sekali. Ternyata itu
penyebabnya.
“Ternyata kamu jauh lebih
pendiam dari dugaanku,” sergahnya membuatku kelabakan. Dugaannya? Dia menduga
aku? Bagaimana bisa? Bukannya tempat duduk yang ia pilih bukan tempat duduk
yang bisa dengan mudah diperhatikan orang. Mana mungkin tempat duduk di pojok
menjadi perhatian orang?
Aku mengernyitkan dahi dan
disambut senyum kecil dari bibirnya. Oh
Tuhan, hentikan waktu sekarang juga. Biarkan kami seperti ini terus, batinku.
Kabel-kabel yang ada di otakku
mungkin ada yang terputus, karena aku sama sekali tak bisa melakukan apapun.
Apapun. Dan rupanya, Bagas menangkap keteganganku. Aku terlambat menyadarinya.
Ahh.. Dan ketika aku sadar, otakku tiba-tiba menginstruksikan tanganku untuk
merapikan kertas-kertas yang ada di atas mejaku. Tangan Bagas meraihku, “Tetap
di sini, lihat dan tunggu aku,” bisiknya sambil melepas tanganku dan berlalu.
***
Malam dengan langit kosong dan
jalanan melompong. Sepertinya aku mengenalnya. Tentu saja. Malam dengan hanya
bersuara sepatu teplek yang kemudian membawa hujan beserta senyum Bagas di
penghujung hariku. Tentu saja aku mengenalnya. Malam ini, malam itu terulang.
Kosong melompong. Tetapi yang berbeda adalah sepatu teplekku mempunyai teman
berjalan, sepatu kets terseret yang berada satu langkah di depan langkahku.
Aku benar-benar melihat dan
menunggu Bagas menyelesaikan pekerjaannya malam itu. Aku sendiri tak tahu apa
yang aku pikirkan sampai melakukannya.
Sudah hampir tiga puluh menit
kami berjalan, tanpa ada sepatah kata pun keluar dari bibir kami. Hening. Kami
sama-sama tak terfikirkan apapun untuk memulai pembicaraan.
“Sepuluh langkah lagi kita
sampai di rumah kosmu,” ujarnya memecah keheningan.
Aku mengangguk.
Bagas menghentikan langkahnya.
Tenggorokannya tercekat, seperti ada yang ingin ia katakan, tapi tak bisa ia
katakan.
Aku berhenti. Tepat berada di
sampingnya dan hanya menunduk.
Tiba-tiba ada getaran hebat
dalam hatiku. Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Bahkan ketika
usai lari pagi selama satu jam pun masih kalah cepat. Buku-buku jariku dingin.
Mungkin jika aku meletakkan kompor di dekat jariku, ia akan meleleh. Wajahku
memanas dan tubuhku mendadak menjadi kaku. Bagas yang sebelumnya ada di
sampingku, dalam hitungan detik sudah berada di depanku. Memandangku. Lekat.
Matanya begitu dalam memandang mataku. Tenggorokanku tercekat. Dalam beberapa
detik nafasku tertahan.
“Hari ini dan seterusnya tetap
seperti ini ya? Lengkapi kita. Jangan diam-diam melihatku di balik hujan,
jendela dan laptop deadline-mu. Lihat aku dari jarak seperti ini,” ujarnya.
Jariku yang semula sedingin es, perlahan menghangat. Sela-sela jari yang semula
oleh Tuhan dikosongkan, kemudian terisi. Tangan yang satu seperempat kali lebih
besar dari milikku telah mengisinya.
Aku mengangguk. Dan kami
sama-sama tersenyum. Senyum pertama yang kuberikan padanya.
Terima kasih, hujan.
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment