Sebuah Cerita Ungkapan Ceria

"let's walk through this journey of life together" - RM

Terima Kasih, Hujan



Ketika itu, malam sedang tidak bersuka cita. Bintang yang biasanya tidak pernah absen memberi bintik-bintik pijar di langit biru pekat, malam itu tak ada. Langit kosong melompong. Biru tua pucat. Anak-anak pinggiran yang biasanya memenuhi jalanan, malam itu tak terlihat satupun batang hidung mereka. Malam yang biasanya penuh teriakan “tekong” memekakakkan telinga, malam itu sunyi. Negara rupanya dalam keadaan yang aman, karena pemuda-pemuda yang katanya harapan bangsa yang setiap malam membicarakan negara di antara bongkahan kayu menyala itu pun absen.

Malam sunyi itu pecah oleh langkah kakiku. Sepatu teplek tanpa hak yang selalu ku pakai, membuat bunyi-bunyian yang selalu muncul di tengah langkah sunyi. Aku mengutuk diriku sendiri. Sampai di depan rumah model tempo dulu dengan halaman luas dan pagar besi jaring, aku menyeret kakiku pelan. Semoga tidak bersuara lagi, batinku. Tapi usahaku untuk tidak membuat bunyi-bunyian, gagal.

100 meter di depan, seorang laki-laki berjalan ke arahku. Sepasang earphone bertengger di telinga yang separuhnya tertutup rambut ikal panjangnya. Ia memakai kaos berwarna hitam yang ia lapisi dengan sebuah kemeja kotak-kotak hitam merah tanpa ia kancingkan. Celana jeans yang ia pakai bersih, meski terlihat sudah ada kerutan di beberapa bagiannya. Tas selempang yang menggantung di bahu kirinya nampak agak lusuh. Matanya memperhatikan langkah kakinya. Sedang kepalanya bergerak ringan mengikuti irama yang keluar dari earpohonenya.

Lelaki itu sudah berada 5 jengkal di depanku. Beberapa detik mata kami sempat bertemu. Beberapa detik saja, sudah cukup membuat jantungku bekerja sangat keras. Ia tersenyum. Lesung pipit yang malu-malu membuat perutku bergolak, seperti ada seekor kupu-kupu yang terbang ke sana-ke mari di dalam perut. Aku berhenti berjalan ketika ia melewatiku. Diam-diam aku memperhatikan punggungnya. Lebar dan hangat. Tumpuan yang sempurna. Aku bisa membayangkan hangatnya ketika aku memeluknya diam-diam dari belakang. Dari punggungnya aku bisa merasakan dada dan bahunya yang hangat, yang membalas pelukanku. Lamunanku buyar ketika mendengar derit pagar tua yang ia buka. Celaka! Ia melihatku memperhatikannya. Aku buru-buru memalingkan wajah dan berjalan secepat yang aku bisa.

***
Hujan deras mengguyur ketika aku baru saja menghempaskan diri di atas kasur penuh buku-buku yang belum ku tata. Aku beranjak dan membuka jendela. Ku biarkan bau tanah bertemu hujan memenuhi sudut-sudut kamarku. Aku masih berdiri di belakang jendela, melihat air yang jatuh ke tanah begitu bersemangatnya. Harusnya aku sesemangat itu, pikirku. Sebuah senyum tiba-tiba seliweran di kepalaku.

Namanya Bagas. Lelaki dengan tinggi yang tak jauh dariku. Mungkin hanya berbeda 10 cm dariku. Anak bungsu dari dua bersaudara yang tinggal di sebelah rumah kosku. Ia selalu menyebut dirinya musisi jalanan, padahal ia adalah seorang guru privat musik. Setiap hari Kamis malam, ia bersama teman-teman bandnya mempunyai jadwal tetap untuk menjadi band pengisi di café. Meski bukan café besar, aku tahu kalau ia sangat menikmatinya. Ia pandai bermain gitar, tapi memilih drum sebagai alat yang ia mainkan di bandnya.

Malam, hujan dan Bagas adalah kombinasi penutup hari yang sempurna bagiku. Karena setiap malam dan hujan aku bisa melihat Bagas berada di beranda rumahnya. Gitar yang ia mainkan di tengah hujan tentu tak dapat ku dengar, namun aku bisa merasakan petikan gitar itu dari sorotan mata yang kosong. Seperti ada alarm, setelah tiga puluh menit, ia letakkan gitarnya sejenak, kemudian memasang earphone ke telinganya. Ia raih gitarnya kembali dan memainkannya dengan lebih semangat. Kakinya lebih sering menghentak, kepalanya bergerak lebih cepat dan jari-jemarinya berpindah dan memetik senar-senarnya dengan penuh semangat. Gitar, malam dan hujan mungkin adalah sesuatu yang sempurnya untuk Bagas.

***
Kamis malam. Adalah waktu untuk mencari dan membuat berbagai macam alasan bisa berada di café. Dan malam ini, aku memilih mengerjakan tulisan sebagai alasan. Hampir hari Kamisku tak pernah terlewati tanpa alpha untuk berada di sini, karena itulah aku mengharuskan segala sesuatunya rapi. Alasan terselubungku tak boleh diketahui oleh siapapun.

“Deadline ya, mbak?” tanya seorang pelayan café sambil mengantarkan jus sirsak  pesananku.
Aku tersenyum menjawabnya. Kemudian ia pergi sambil tersenyum. Aku kaget. Karena senyum pelayan itu menjengkelkan. Matanya tiba-tiba mengerling menggodaku. Jangan-jangan aku ketahuan, batinku.

Aku menggeser gelasku kemudian terpaku kembali di depan laptop yang sudah ku siapkan. Masih ada tiga puluh menit lagi, aku harus menggunakannya dengan hati-hati dan rapi.

“Jus sirsak dengan sedikit es dan gula, tanpa sedotan. Benar?” tanya sebuah suara yang mengagetkanku. Aku melihat ke arah sumber suara itu. Beberapa detik bibirku beku. Tak satupun kata yang mampu aku keluarkan darinya. Semua kata-kata yang ku kenal mendadak lenyap. Lethologica menyerangku di saat yang tidak tepat. Mana bisa begini?

“Menulis apa?” tanyanya kemudian. Aku masih membeku.
“Oh iya, kita belum berkenalan ya? Aku Bagas? Kamu?” ucapnya seraya memberikan tangannya.
“Rahma” jawabku menjabat tangannya. Tangannya lebih besar dari tanganku. Bagian ujung-ujung jarinya kasar, selebihnya lembut. Tanganku bergetar menyambut tangannya. Ia tersenyum. Gawat, dia pasti menertawakan tanganku yang gemetar, batinku. Aku buru-buru menarik tanganku dan berpura-pura sibuk kembali dengan laptop di depanku.

“Kamu sering ke sini ya?” tanyanya kembali sambil menarik kursi kosong di samping kursiku.
Aku mengangguk. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mencium wangi tubuhnya. Wangi sabun kesehatan warna merah yang bercampur dengan keringat tipisnya. Sepertinya ia tak banyak menggunakan parfum, tetapi wangi segarnya sangat terasa. Wajahnya juga sangat bersih. Aku baru tahu ada tiga tahilalat kecil di wajahnya, dua di bawah mata sebelah kanan dan satu di atas bibir kanannya. Pantas senyumnya manis sekali. Ternyata itu penyebabnya.

“Ternyata kamu jauh lebih pendiam dari dugaanku,” sergahnya membuatku kelabakan. Dugaannya? Dia menduga aku? Bagaimana bisa? Bukannya tempat duduk yang ia pilih bukan tempat duduk yang bisa dengan mudah diperhatikan orang. Mana mungkin tempat duduk di pojok menjadi perhatian orang?

Aku mengernyitkan dahi dan disambut senyum kecil dari bibirnya. Oh Tuhan, hentikan waktu sekarang juga. Biarkan kami seperti ini terus, batinku.

Kabel-kabel yang ada di otakku mungkin ada yang terputus, karena aku sama sekali tak bisa melakukan apapun. Apapun. Dan rupanya, Bagas menangkap keteganganku. Aku terlambat menyadarinya. Ahh.. Dan ketika aku sadar, otakku tiba-tiba menginstruksikan tanganku untuk merapikan kertas-kertas yang ada di atas mejaku. Tangan Bagas meraihku, “Tetap di sini, lihat dan tunggu aku,” bisiknya sambil melepas tanganku dan berlalu.

***
Malam dengan langit kosong dan jalanan melompong. Sepertinya aku mengenalnya. Tentu saja. Malam dengan hanya bersuara sepatu teplek yang kemudian membawa hujan beserta senyum Bagas di penghujung hariku. Tentu saja aku mengenalnya. Malam ini, malam itu terulang. Kosong melompong. Tetapi yang berbeda adalah sepatu teplekku mempunyai teman berjalan, sepatu kets terseret yang berada satu langkah di depan langkahku.

Aku benar-benar melihat dan menunggu Bagas menyelesaikan pekerjaannya malam itu. Aku sendiri tak tahu apa yang aku pikirkan sampai melakukannya.

Sudah hampir tiga puluh menit kami berjalan, tanpa ada sepatah kata pun keluar dari bibir kami. Hening. Kami sama-sama tak terfikirkan apapun untuk memulai pembicaraan.

“Sepuluh langkah lagi kita sampai di rumah kosmu,” ujarnya memecah keheningan.
Aku mengangguk.
Bagas menghentikan langkahnya. Tenggorokannya tercekat, seperti ada yang ingin ia katakan, tapi tak bisa ia katakan.
Aku berhenti. Tepat berada di sampingnya dan hanya menunduk.

Tiba-tiba ada getaran hebat dalam hatiku. Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Bahkan ketika usai lari pagi selama satu jam pun masih kalah cepat. Buku-buku jariku dingin. Mungkin jika aku meletakkan kompor di dekat jariku, ia akan meleleh. Wajahku memanas dan tubuhku mendadak menjadi kaku. Bagas yang sebelumnya ada di sampingku, dalam hitungan detik sudah berada di depanku. Memandangku. Lekat. Matanya begitu dalam memandang mataku. Tenggorokanku tercekat. Dalam beberapa detik nafasku tertahan.

“Hari ini dan seterusnya tetap seperti ini ya? Lengkapi kita. Jangan diam-diam melihatku di balik hujan, jendela dan laptop deadline-mu. Lihat aku dari jarak seperti ini,” ujarnya. Jariku yang semula sedingin es, perlahan menghangat. Sela-sela jari yang semula oleh Tuhan dikosongkan, kemudian terisi. Tangan yang satu seperempat kali lebih besar dari milikku telah mengisinya.

Aku mengangguk. Dan kami sama-sama tersenyum. Senyum pertama yang kuberikan padanya.
Terima kasih, hujan.

0 komentar:

Posting Komentar or Reply Comment

About this blog

"Don't start with seeing, start with believing..."
-Master's Sun-

SayaSayaSaya

Foto Saya
metrika
perempuan yang sedang bermetamorfosa jadi semut keciill.. ^^
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

Followers