Di saat sebaya yang lain sedang asyik menyayangi pasangannya, aku masih duduk diam mengagumi orang yang hanya dalam imaji. Aku lebih hidup ketia meletakkannya di antara nyata. Aku lebih nyata ketika mengagumi ketidaknyataannya. Ia nyata untuk kaumnya. Ia terlihat untuk sekitarnya. Aku bukan luput dari penglihatannya. Aku hanya tak mau menyadarkan dii, bahwa aku bukan bagiannya. Aku hanya tak mau merasa bahwa seharusnya aku tahu di mana aku berdiri, di mana aku bisa dilihat dan melihat sekitarku.
Aku mengaguminya lebih dari seharusnya rasa kagum. Aku menyukainya di antara teriakan yang meneriakkan namanya. Aku menyayanginya dan seharusnya tak melakukannya.
iya, seharusnya aku tak melakukannya. Aku tahu ini hanya akan menjadi belenggu. Belenggu bodoh yang seharusnya bisa aku halau sendiri. Tapi aku melakukan sebaliknya. Yang bisa kulakukan hanya melihat satu persatu kata yang terlontar dari medianya. Lucu. Aku tak pernah lelah menunggu setiap kata yang terkata. Bahkan aku telah dibuatnya candu.
Ia harusnya tahu, bahwa ada seorang penanti yang penuh asa tanpa henti. Ia harusnya malu, mendapati dirinya menjadi alasan seorang pecandu. Ia harusnya tak perlu ragu, pecandunya akan ada di pihaknya, selalu.
Tapi, lagi-lagi dan lagi, aku mendapati diriku tidak pada tempatnya. Tak sadar betapa tak serupanya kami. Betapa aku seharusnya bekerja sangat-sangat keras demi meraih keajaiban. Entah keajaiban berwujud apa?
Setengah tertawa, raut yang ku lihat di sekitarku. Mengejek? Iya. Menghina? Iya. Aku tak ingin melakukan apa-apa. Yang ku punya hanya imaji. Yang ku bisa hanya bermimpi. Bermimpi suatu saat bisa berjalan beriringan. Mimpi yang hanya keajaiban yang membuatnya nyata.
Selamat pagi, imaji...
Kamu, Di Antara Imajiku
Diposting oleh
metrika
at
Kamis, 21 Agustus 2014
Label: alkisah , cerita pendek
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment