“Aku ada di rumah sakit, Ji Hyo.
Doakan aku ya. Terima kasih sudah mau berteman denganku,” sebuah pesan singkat
datang di tengah malam. Ku biarkan pesan itu begitu saja kemudian merebahkan
tubuhku di tempat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya.
*****
“Ji Hyo ya, sedang apa kamu?”
bunyi pesan singkat yang datang ke handphoneku.
Kugeletakkan lagi handphoneku di
atas sofa. Aku sedang ingin menikmati memoriku seorang diri. Kenangan hangat
yang sebentar lagi akan lenyap dari hidupku.
Sudah 5 jam mataku menikmati
layar monitor home teather di hadapanku. Ahh.. sebenarnya yang paling
menikmatinya adalah hatiku. Aku sedang gila. Dan yang membuatku gila adalah
seorang pria. Pria bodoh yang selama enam bulan ini diam-diam menjalin hubungan
denganku. Pria yang selama empat tahun lebih ini dunia tahu ia adalah pasangan
hari seninku. Pria yang empat tahun lalu adalah batu berlumpur, kini menjadi
batu permata. Pria yang empat tahun lalu perempuan enggan melihatnya, kini
menjadi pria yang paling diinginkan di negeri ini. Pria yang selama empat tahun
ini selalu melihatku dan selalu satu langkah di belakangku, membantuku berdiri
ketika aku jatuh, mendorongku ketika aku kehilangan energi, memberiku sandaran
ketika aku lelah dan selalu tersenyum lebih dulu ketika aku bahagia.
Lantas kenapa pria seperti itu
malah membuatku gila? Seharusnya aku berbahagia menjadi perempuan paling
beruntung di dunia ini?
“Sedang tidak melakukan apapun,
kecuali merindukanmu. Seberapa cepat kamu bisa sampai di sini hari ini?”
balasku.
Song Ji Hyo yang dunia tahu
gemar memberi sumpah serapah ini sebenarnya tidak cukup pandai dalam mengungkapkan
perasaannya. Selama empat tahun lebih dihujani kasih sayang, nyatanya tak mampu
mengubah gengsiku. Gengsi untuk mengakui kepada dunia bahwa aku memang telah takluk
olehnya. Perhatiannya, kalimat-kalimat ajaibnya, perlakuannya, semua hal yang
ia lakukan untukku telah membuat hatiku goyah. Seberapa hebatnya aku menolak
perasaannya, nyatanya aku malah semakin takluk padanya.
Di depanku ada Kang Gary yang
sedang mencium lembut keningku di salah satu episode variety show kami. Tanpa
dikomando, air mata tiba-tiba jatuh membasuhi wajahku. Dasar pria bodoh!
“Selama apa kau bisa menunggu
pangeranmu ini?” sebuah pesan singkat datang lagi dari Kang Gary. Aku
tersenyum. Aku seka air mataku. Kang Gary sedang merindukanku saat ini. Pada
saat yang sama aku merasakan keindahan dan kesakitan yang datang dari cinta
kami.
“Datanglah secepat kilat,”
balasku.
Sepuluh menit berlalu dan Kang
Gary sudah berada di depan pintu apartemenku. Dasar pria gila! Pasti ia
mengebut, padahal ia begitu buruk dalam menyetir. Aku memakai riasanku sebelum
membukakan pintu untuknya. Bukan hanya agar terlihat selalu cantik di
hadapannya, aku juga tak ingin ia mencurigaiku sebelum aku menceritakannya
padanya.
Kang Gary masuk ke dalam
apartemenku kemudian merentangkan tangannya sambil tertawa.
“Kamu tidak ingin berlari dan
memelukku?” tanyanya sambil menggoyangkan kepalanya. Tingkah khasnya ketika
menggodaku. Aku bisa apa selain menuruti keinginannya? Aku memeluknya begitu
erat, seakan tak mau melepaskannya barang sedetikpun. Aku bisa merasakan detak
jantungnya. Aku bisa merasakan wangi tubuhnya. Bahkan aku bisa merasakan hangat
nafasnya. Aku merasa sangat nyaman saat
ini.
Tangan Kang Gary kemudian
menyentuh kepalaku, mengangkatnya supaya ia bisa melihat mataku. Aku
menyembunyian sedemikian rupa perasaanku. Aku hanya bisa tersenyum sambil
melihat tatapan hangatnya.
“Kau tahu, Aku sangat
mencintaimu,” ucapnya pelan.
Aku mengangguk.
Telapak tangannya ia letakkan di
pipiku, kemudian mengusap-usapnya lembut.
“Setiap bagian tubuhku
mencintaimu,” sambungnya.
“Tentu saja aku tahu. Sejak
empat tahun lalu kau sudah mengatakan itu, Oppa,” jawabku tanpa melepas
tanganku dari pinggangnya.
Kecupan hangat mendarat di
keningku. Aku bisa merasakan ketulusan dari kecupan itu. Ketulusan untuk tetap
mencintaiku bagaimanapun kondisiku. Ia tak pernah memintaku untuk mengakui
kepada dunia bahwa aku mencintainya, ia juga tak pernah memaksaku untuk membuka
kenyataan bahwa kami adalah pasangan setiap hari, bukan hanya hari senin. Ia
selalu percaya bahwa aku akan selalu berada di sisinya, mencintainya seperti ia
mencintaiku. Tak ada yang tahu tentang hubungan kami ini, termasuk teman-teman
kami di variety show. Dan Kang Gary selalu menerima setiap permintaan dari
gengsiku tanpa sedikitpun pertanyaan mengapa.
Kang Garu memelukku kembali,
walaupun sebenarnya dari tadi aku tak melepaskan pelukanku. Aku menikmati
hangat tubuh pria ini. Ia usap lembut kepalaku, kemudian memelukku lebih erat.
Aku mengangkat kepalaku, melihat senyumnya. Kadang aku berfikir apa pria di
pelukanku ini benar-benar mencintaiku? Tetapi ketika aku melihat senyumnya,
fikiran ragu itu hilang sama sekali. Kami saling mencintai, itulah
kenyataannya. Ku letakkan tanganku di atas pundaknya. Ku tatap matanya
lekat-lekat. Ia pun melakukan hal yang sama. Jantungku berdegup kencang. Dengan
sedikit berjinjit, aku meraih bibirnya dengan bibirku. Matanya terbelalak.
Terkejut. Kupejamkan mataku dan kunikmati ciuman itu. Kang Gary pun melakukan
hal yang sama. Bibir itu hangat dan penuh cinta. Untuk pertama kalinya kami berciuman karena
cinta, bukan untuk memenangkan pertandingan.
Kang Gary memelukku lebih
kencang. Seluruh tubuhku terasa panas. Pun dengan mataku. Tiba-tiba air mataku
mengalir begitu saja. Aku tidak ingin
kehilangan pria ini, Tuhan, batinku. Kang Gary merasakan air mataku,
kemudian melepaskan bibirnya dari bibirku. Ia menatapku kebingungan.
“Ji Hyo ya, kamu kenapa?”
tanyanya sambil meletakkan tangannya di pipiku. Ia usap air mataku dengan
jari-jari kecilnya yang hangat.
“Aku mencintaimu, Oppa. Aku
sangat mencintaimu,” bisikku. Ku tenggelamkan tubuhku di pelukanku kembali. Air
mataku tak bisa kukendalikan. Ia terus turun tanpa ku kehendaki. Aku terisak di
dadanya. Kang Gary meraih kepalaku dan mengangkatnya. Ia kebingungan. Kemudian
ia sibuk mengusap air mataku. Aku tak bisa dan tak ingin melepaskan pelukanku.
“Ceritakan kepadaku, ada apa?”
ucapnya sambil menarikku untuk duduk di sofa. Sofa yang sama dengan tempatku
melihat ia mengecup keningku di layar. Kini layar itu berubah, yang ada di sana
adalah episode pernikahan Kang Gary. Aku berusaha untuk mengendalikan
perasaanku sendiri.
“Sebentar lagi kalian akan
berciuman,” kataku tiba-tiba. Kang Gary menyandarkan kepalaku di bahunya.
“ahh, episode ini. Kenapa kamu
melihatnya lagi?” tanyanya sambil mengusap-usap kepalaku.
“Bukankah Min Ah-ssi sangat
cantik? Lihatlah betapa bahagianya kamu. Kalian juga tampak saling malu-malu,”
ucapku dengan nada datar.
“Kenapa aku mendengarnya seperti
cemburu. Kau cemburu, Ji Hyo? Benarkah? Ahh, ini pertama kalinya kamu cemburu,
Ji Hyo,” ucapnya sambil tertawa.
Aku terdiam. Cemburu? Pada Min
Ah? Iya. Aku cemburu. Aku marah melihatnya begitu dekat dan malu-malu seperti
itu. Pria ini milikku. Bagaimana bisa orang lain melakukan itu kepada priaku
dan aku tidak cemburu? Tapi kenyatannya tidak sesederhana itu. Ada satu hal
yang tidak diketahui oleh siapapun termasuk Kang Gary. Aku menyimpannya sendiri
dalam tangisku setiap malam.
“Bukankah di episode ini kamu
bilang ingin menikah juga? Ji Hyo ya, ayo kita menikah. Hahaha…” kata Kang Gary
sambil tertawa.
“Menikah…?” jawabku pelan. Kang
Gary melirikku. Tawanya hilang. Ia tampak sangat menyesal mengatakan itu.
“Ah, Maaf Ji Hyo. Aku hanya
bercanda. Tak perlu kau fikirkan itu…” ucapnya dengan wajah tertekuk.
“Gary oppa, kamu benar-benar ingin menikah?”
tanyaku masih menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Aku boleh berkata jujur, Ji
Hyo?” tanyanya yang ku sambut dengan anggukan.
“Sejujurnya, iya. Sebelumnya aku
sama sekali tak pernah berfikir tentang menikah. Tapi setelah kita benar-benar
bersama, diam-diam aku menginginkannya. Aku tak ingin berpisah denganmu. Tapi
tenang saja Ji Hyo, kau tak perlu khawatir. Aku tak akan pernah memaksamu. Aku
akan menerima apapun asal kita bisa bersama selamanya, Ji Hyo” ungkapnya.
Mataku memanas kembali. Namun kali ini aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan
air mataku.
“Gary oppa, kau tahu kam kalau
aku sangat mencintaimu? Aku sendiri tak tahu sejak kapan aku tak bisa hidup
tanpamu. Aku fikir menikah bukan hal yang buruk,” ucapku menggodanya. Aku
lingkarkan tangan kiriku ke depan perutnya. Sedang kepalaku masih bersandar di
bahunya.
“Kau serius, Ji Hyo?” tanyanya
sambil menarik tubuhku. Nadanya begitu antusias. Kami berdua duduk bersila di
atas sofa saling berhadapan. Ia mengguncan-guncangkan tubuhku, bertanya
beribu-ribu kali hal yang sama, untuk meyakinkannya bahwa ia tidak mendengar
hal yang salah.
“Ada seseorang yang akan mencintaimu
dengan benar,” ujarku pelan. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mataku. Ia
kemudian mengalir dengan begitu derasnya.
*****
“Ji Hyo-ssi, apartemenmu nyaman
sekali,” ujar Min Ah ketika baru sampai di apartemenku. Ia kemudian
menghempaskan tubuhnya di sisi tempat tidurku.
Kami berdua duduk di atas tempat
tidur sambil berbincang ke sana-ke mari. Ini pertama kalinya aku dan Min Ah
berbicara sebanyak dan sedekat ini. Kami akan bekerja untuk satu drama untuk
pertama kalinnya. Min Ah orang yang sangat hangat, cantik, menarik dan anggun.
Coba saja tanyakan pada pria di luar sana, siapa yang tidak ingin berpasangan
dengannya, jawabannya pasti tak ada.
“Ji Hyo, kamu beruntung sekali,”
ucapnya sambil mengambil foto yang ku taruh di atas meja kecil di samping
tempat tidurku. Di dalam foto itu ada aku dan enam pria sedang tertawa. Salah
satu pria di dalam foto itu menaruh tangannya di atas pundakku.
“Iya, mereka adalah pria-pria
yang sangat luar biasa. Datanglah lagi ke acara kami,” ujarku.
“Aku sangat ingin datang, Ji
Hyo. Aku ingin datang untuk pria ini,” ujarnya sambil mengusap wajah pria di
dalam foto. Pria yang tangannya ada di atas pundakku. Mata Min Ah memandangnya.
Hatiku berdesir. Wajahku memanas. Seperti ada darah panas di tubuhku.
“Ji Hyo, bolehkan dia untukku?
Aku sudah dibuat gila olehnya…” ucapnya pelan.
“…Kita baru saja dekat, tapi
sudah meminta macam-macam. Maafkan aku,” sambungnya sambil memegang tanganku.
“Kamu menyukainya?” tanyaku
terbata-bata. Pria itu milikku, mana mungkin aku rela menyerahkannya kepada
orang lain? Tapi bagaimana mungkin, sementara yang dunia tahu ia sedang tidak
menjalin hubungan dengan siapapun.
“sangat…” ucapnya tenang.
“…kalian hanya berpasangan di
layar kaca, bukan? Kalian tidak benar-benar berpacaran, kan? Aku akan mencintai
Gary oppa dengan baik,” ungkapnya. Nada bicaranya tidak berubah sama sekali.
Dan jantungku berdetak lebih kencang.
Apa yang harus ku lakukan? Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya
kepada Min Ah? Batinku. Tetapi itu akan menyakitkan, baik untuknya maupun
untukku. Ia tentu saja akan sangat sulit menerima kenyataan itu. Dan ketika Min
Ah tahu, maka semua orang juga akan tahu. Aku tidak bisa memercayai siapapun di
dunia hiburan ini. Jika semua orang tahu, kesempatan akan kehilangan Kang Gary
menjadi lebih besar. Aku tak mau itu semua terjadi.
“Kamu belum mengenal oppa. Ia di
layar dan di dunia nyata adalah dua orang yang berbeda. Pasti tidak ada di
bayanganmu sama sekali,” ucapku. Aku tidak berbohong. Kang Gary memang berbeda
di dunia nyata dan di layar kaca. Jauh lebih hangat. Aku hanya memanipulasi
kata-kataku agar ia tak melanjutkan hatinya.
“Aku tak keberatan. Aku sudah
siap menerima oppa bagaimanapun kondisinya…” ungkapnya. Tangannya semakin erat
memegang tanganku. Aku semakin merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini.
“…mungkin Gary oppa adalah hal
terindah terakhir yang bisa kuraih” ujarnya pelan. Ia meraih tas kecil yang ia
bawa tadi. Ia keluarkan sebuah kertas dari dalam amplop yang samar-samar terbaca
seperti nama sebuah rumah sakit. Ia menyerahkan kertas itu kepadaku. Kubaca
perlahan, namun aku tak mengerti . Kata-kata dalam kertas itu semua menggunakan
istilah kedokteran dan aku tak mengerti sama sekali.
“Kanker hati. Stadium empat. Itu
yang membuat keberanianku untuk menemuimu muncul. Gary oppa adalah hal terakhir
yang ku inginkan dalam hidupku yang tidak lama ini,” ungkapnya menahan tangis.
Kata-kata itu bagaikan sambaran
petir di siang hari. Mih Ah memang tidak terlihat sehat, tapi untuk seseorang
yang mengidap kanker hati stadium empat ku fikir ia cukup sehat. Apa ia
membohongiku? Rasanya tidak. Untuk apa?
“Kalau kamu menginginkan Gary
oppa, datanglah padanya. Aku tak bisa berbuat apapun untuk menolongmu,” ujarku.
“Ji Hyo, sebelum aku meninggal,
aku ingin mengetahui rasanya menikah. Gary oppa tak akan pernah mengabulkannya
kalau aku yang meminta. Tapi akan berbeda ketika kamu yang meminta, Ji Hyo.
Tolonglah aku,” pintanya. Aku diam saja tak tahu harus berbuat apa.
Kami baru saja dekat, tapi aku
harus menyerahkan priaku kepadanya. Mana mungkin bisa? Meski ia sedang sakit,
apa itu baik meminta orang untuk menikah sebagai permintaan terakhir? Meminta
seseorang untuk mencintai atas dasar kasihan. Ahh, mana mungkin bisa? Tetapi
kalau aku menolaknya, apa ia akan baik-baik saja? Kalau memang waktunya hidup
tidak begitu lama lagi, betapa jahatnya aku jika tidak bisa mengabulkan
permintaan yang mungkin akan menjadi permintaan terakhirnya.
****
“Ji Hyo ya, kamu benar-benar
akan melakukan ini?” tanya Jae Suk oppa. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Kamu bahagia?” tanyanya lagi.
“Tentu saja. Oppa tak usah
khawatir. Kami semua akan bahagia,” jawabku sambil berkeliling ruangan serba
putih ini. Meja-meja bundar dan kursi yang mengitarinya sudah memenuhi ruangan
ini. Di tengah ruangan ini ada sebuah jalan kecil menuju pelataran kecil yang
di sana penuh dengan bunga-bunga berwarna putih. Akan ada sepasang manusia yang
akan berjalan di sana dan pada akhirnya akan saling mengucap janji
setianya. Di depan pintu depan ruangan
itu sudah berjejer rapi karangan-karangan bunga yang sebagian besar pengirimnya
adalah pelaku-pelaku industri hiburan di negeri ini.
“Ji Hyo ya, kamu di sini? Sejak
kapan?” tanya Kang Gary, pria yang akan menjadi aktor utama dalam pernikahan
ini.
“Aku menemui Jae Suk oppa tadi.
Entah kemana dia sekarang?” jawabku sambil tersenyum.
“Boleh aku memelukmu terakhir
dengan status lajang, Ji Hyo?” tanyanya sambil mendekatkan dirinya. Ia melihat
mataku kemudian tersenyum.
“Tentu saja” jawabku membalas
senyumnya. Tubuhku memanas. Pria ini selalu hangat. Kemudian aku
meninggalkannya sendiri di dalam ruangan yang akan menjadi tempat
pernikahannya.
****
“Kau cantik sekali, Ji Hyo,”
ujar Min Ah menghampiriku.
“Terima kasih, Min Ah. Kau juga
sangat cantik. Maafkan aku untuk semuanya,” kataku sambil meraih tangannya.
“Aku yang harusnya meminta maaf
padamu. Kau sudah sangat baik hati, tetapi aku malah memanfaatkannya dan
berbohong kepadamu. Maafkan aku, Ji Hyo,” aku dan Min Ah berpelukan cukup lama.
“Hei pengantin perempuan, sampai
kapan kalian akan berpelukan seperti ini? Aku juga ingin memeluk kalian,” ujar HaHa
oppa yang tiba-tiba memasuki ruangan diikuti oleh Jong Kook oppa, Jae Suk oppa,
Suk Jin oppa, dan Kwang Soo.
“Hei, ini tempat pengantin
perempuan, kenapa kalian masuk ke sini? Kalian hanya akan mengganggu saja,”
ucap Min Ah sambil berpura-pura mengusir mereka pergi.
“Kami hanya ingin melihat apa
pengantin perempuan benar-benar tidak akan menyesal?” ucap Jong Kook oppa.
“Ji Hyo ya, berjanjilah padaku
kau tak akan pernah menyesalinya,” ujar Jae Suk oppa menggodaku.
“Ani, oppa. Aku tidak akan
pernah menyesal,” ucapku sambil tertawa.
“Aku tahu kalian akan menikah.
Tapi betapa jahatnya kalian tidak pernah bercerita apapun kepada kami. Ji Hyo
ya, tinggalkan diaaaa…” teriak Suk Jin oppa diikuti tawa oleh yang lain.
“Noona, apa kau yakin
menikahinya, noona? Noona, masih ada waktu untuk pergi. Segeralah pergi,
Noona,” Kwang Soo bertanya sambil menarik-narik lenganku.
“Diamlah!” sergahku sambil
tertawa.
“Kau sangat cantik, Ji Hyo.
Syukurlah Kang Gary mendapatkanmu. Kalian akan berbahagia,” ucap Jae Suk oppa
sambil memegang tanganku. Ia menepuknya beberapa kali, kemudian memegang kedua
pipiku. Kebiasaannya untuk menenangkanku. Keempat teman-temanku yang lain dan
juga Min Ah juga memengang tanganku erat dan hangat.
“Min Ah-ssi, tinggal Jong Kook
oppa dan Kwang Soo yang belum menikah diantara kami. Tidakkah kamu ingini salah
satunya?” tanya HaHa oppa tiba-tiba. Jong Kook oppa menarik kerah jas HaHa oppa
dan mulai memukulnya pelan. Ruangan pun penuh gelak tawa.
****
Seorang laki-laki berdiri tegap
di hadapanku. Memegang kedua tanganku dan kami saling memandang satu sama lain,
kemudian sama-sama tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya, menggodaku.
Aku pun tak kuasa menahan tawa karenanya. Tubuh kami mendekat. Ia sibakkan
penutup yang menutupi wajahku. Menarik tanganku dan meletakkannya di atas
pundaknya. Sedang ia meletakkan tangannya di atas pinggangku. Wajahnya semakin
mendekat sampai hidung kami saling bersentuhan. Wajahku memanas. Mata kami
saling beradu kemudian sama-sama menutupnya pelan. Tanpa menunggu waktu lama,
bibirnya menyentuh bibirku. Hangat. Aku sedikit berjinjit agar bisa lebih lama
menikmati bibir hangatnya. Pria yang sangat kucintai ini saat ini benar-benar
menjadi suamiku. Pasanganku sehidup dan semati.
“Berhentiii.. Jangan lakukan
itu!!”
“Hey, Kang Gary, lepaskan Ji
Hyo,”
“Hey, kalian menjauhlah!”
“Ji Hyo ya, cepat pergi..”
Suara-suara bising itu
mengakhiri upacara pernikahan kami. Pernikahan yang tak pernah terfikirkan
olehku sebelumnya. Min Ah memang sakit kanker hati, tapi masih stadium awal.
Aku telah meminta Kang Gary untuk mengabulkan permintaan terakhir Min Ah. Pada
awalnya ia menyetujuinya, tetapi ternyata Kang Gary menemui Min Ah untuk
menjelaskan tentang hatinya dan seluruh kenyataan tentang kami. Kemudian di
sinilah kami, saling mengucap janji setia sehidup semati kami.
Kang Gary & Song Ji Hyo,
Everyday couple.
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment