“Kalau punya pacar, kenalin ke
Ibu” ujar Ibu kepadaku dan kedua adikku.
Itu kali pertama obrolan kami
sedekat itu. Untuk pertama kalinya pula kami berempat berkumpul membicarakan
tentang hal yang sangat pribadi dan dijauhkan dari jangkauan orang tua. Minus
Bapak yang sedang berada di luar, obrolan kami berubah nada. Aku dan kedua
adikku saling melempar ejekan. Di antara kami bertiga, hanya adikku yang paling
kecil yang mempunyai kekasih. Sisanya masih belum bisa menemukan orang baru
lagi yang mengisi ruang hati kami.
Obrolan itu tak berjalan lama.
Keluarga kami bukan keluarga
pada umumnya, yang setiap anaknya pulang selalu ditanya apa saja yang terjadi
di sekolah. Orang tua kami juga bukan orang tua yang akan mengatakan, “Siapa
yang nakal? biar Bapak hajar”, tetapi lebih memilih untuk berkata, “Kenapa
bilang sama Bapak? Hajar sendiri, lah.” Kami juga bukan kakak beradik yang
selalu berbagi keresahan yang tak bisa dikatakan kepada orang tua kami. Semua
resah dan masalah, ya kami simpan saja sendiri. Kami pecahkan dengan cara kami
masing-masing. Kami belajar menghadapi masalah dengan sendirinya.
Bapak adalah orang yang cukup
dipandang di Desa kami. Bukan karena materi yang kami punya, tetapi penghargaan
kepada isi kepalanya. Namun bukan berarti anak-anaknya menjadi anak-anak
terpandang juga. Tidak. Kami bergaul dengan cara kami masing-masing. Bapak tak
akan repot-repot mengantarkan ke rumah Ketua RT, meskipun kami membutuhkan
surat keterangannya untuk keperluan kami. Kami harus berjalan sendiri. Ketua
RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, meski Bapak mengenalnya, kalau kami butuh
untuk bertemu mereka, Bapak tak akan pernah bersusah-susah untuk membuatkan
janji atau semacamnya. Tidak.
Ibu bukan wanita karier, tetapi
ibu rumah tangga biasa. Ibu rumah tangga yang tidak selalu menanyakan kabar
sekolah kami ataupun siapa teman kami, sahabat kami, musuh kami. Ia membiarkan
kami bercerita dengan sendirinya. Ia juga tidak selalu memaksa kami untuk
membeli makanan yang sehat, tetapi ia membiarkan kami tahu bagaimana makanan
sehat itu baik bagi tubuh kami. Ia memberi kami pelajaran dengan pengalaman
yang kami punya.
Meski begitu, bukan berarti
kedua orang tua kami akan diam saja ketika kami melakukan kesalahan yang
melanggar tata baku yang sudah disusun oleh masyarakat. Murka mereka sangat
menyakitkan. Tanpa kata, hanya mendiamkan kami.
Memangnya hukuman berat apalagi selain diam yang bisa membuat kami
berfikir mati-matian untuk mengembalikan keadaan menjadi normal?
Kami berlima membangun keluarga
ini dengan cara yang sangat luar biasa. Kami berlima bukan komunikator handal.
Kami sama sekali tidak bisa membeberkan perasaan yang ada di kepala kami. Kami
juga masih belum bisa menemukan kata “sayang”, “maaf”, “terima kasih” yang
dapat kami ucapkan di luar hari raya.
Iya, anggap saja keluarga kami
tidak normal. Tapi di antara ketidak normalan kami, kami masih dan tetap
menjadi keluarga. Kami masih dan akan terus berusaha menjadi keluarga yang
baik, meski baik menurut kami belum tentu baik bagi yang lain. Kami bukannya
tak mau peduli, tetapi kami akan berjalan seperti pada dasarnya kami.
Meski tak pernah saling
mengungkapkan perasaan satu sama lain, kami percaya bahwa kami tak pernah
berada pada perasaan yang berbeda.
Keluarga yang akan menjadi harta
yang paling berharga.
^^
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment