Sebuah Cerita Ungkapan Ceria

"let's walk through this journey of life together" - RM

(Bukan) Keluarga Cemara



“Kalau punya pacar, kenalin ke Ibu” ujar Ibu kepadaku dan kedua adikku.

Itu kali pertama obrolan kami sedekat itu. Untuk pertama kalinya pula kami berempat berkumpul membicarakan tentang hal yang sangat pribadi dan dijauhkan dari jangkauan orang tua. Minus Bapak yang sedang berada di luar, obrolan kami berubah nada. Aku dan kedua adikku saling melempar ejekan. Di antara kami bertiga, hanya adikku yang paling kecil yang mempunyai kekasih. Sisanya masih belum bisa menemukan orang baru lagi yang mengisi ruang hati kami.


Obrolan itu tak berjalan lama.

Keluarga kami bukan keluarga pada umumnya, yang setiap anaknya pulang selalu ditanya apa saja yang terjadi di sekolah. Orang tua kami juga bukan orang tua yang akan mengatakan, “Siapa yang nakal? biar Bapak hajar”, tetapi lebih memilih untuk berkata, “Kenapa bilang sama Bapak? Hajar sendiri, lah.” Kami juga bukan kakak beradik yang selalu berbagi keresahan yang tak bisa dikatakan kepada orang tua kami. Semua resah dan masalah, ya kami simpan saja sendiri. Kami pecahkan dengan cara kami masing-masing. Kami belajar menghadapi masalah dengan sendirinya.

Bapak adalah orang yang cukup dipandang di Desa kami. Bukan karena materi yang kami punya, tetapi penghargaan kepada isi kepalanya. Namun bukan berarti anak-anaknya menjadi anak-anak terpandang juga. Tidak. Kami bergaul dengan cara kami masing-masing. Bapak tak akan repot-repot mengantarkan ke rumah Ketua RT, meskipun kami membutuhkan surat keterangannya untuk keperluan kami. Kami harus berjalan sendiri. Ketua RT, RW, Kepala Dusun, Kepala Desa, meski Bapak mengenalnya, kalau kami butuh untuk bertemu mereka, Bapak tak akan pernah bersusah-susah untuk membuatkan janji atau semacamnya. Tidak.

Ibu bukan wanita karier, tetapi ibu rumah tangga biasa. Ibu rumah tangga yang tidak selalu menanyakan kabar sekolah kami ataupun siapa teman kami, sahabat kami, musuh kami. Ia membiarkan kami bercerita dengan sendirinya. Ia juga tidak selalu memaksa kami untuk membeli makanan yang sehat, tetapi ia membiarkan kami tahu bagaimana makanan sehat itu baik bagi tubuh kami. Ia memberi kami pelajaran dengan pengalaman yang kami punya.

Meski begitu, bukan berarti kedua orang tua kami akan diam saja ketika kami melakukan kesalahan yang melanggar tata baku yang sudah disusun oleh masyarakat. Murka mereka sangat menyakitkan. Tanpa kata, hanya mendiamkan kami.  Memangnya hukuman berat apalagi selain diam yang bisa membuat kami berfikir mati-matian untuk mengembalikan keadaan menjadi normal?

Kami berlima membangun keluarga ini dengan cara yang sangat luar biasa. Kami berlima bukan komunikator handal. Kami sama sekali tidak bisa membeberkan perasaan yang ada di kepala kami. Kami juga masih belum bisa menemukan kata “sayang”, “maaf”, “terima kasih” yang dapat kami ucapkan di luar hari raya.

Iya, anggap saja keluarga kami tidak normal. Tapi di antara ketidak normalan kami, kami masih dan tetap menjadi keluarga. Kami masih dan akan terus berusaha menjadi keluarga yang baik, meski baik menurut kami belum tentu baik bagi yang lain. Kami bukannya tak mau peduli, tetapi kami akan berjalan seperti pada dasarnya kami.

Meski tak pernah saling mengungkapkan perasaan satu sama lain, kami percaya bahwa kami tak pernah berada pada perasaan yang berbeda.

Keluarga yang akan menjadi harta yang paling berharga.
^^

0 komentar:

Posting Komentar or Reply Comment

About this blog

"Don't start with seeing, start with believing..."
-Master's Sun-

SayaSayaSaya

Foto Saya
metrika
perempuan yang sedang bermetamorfosa jadi semut keciill.. ^^
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

Followers