Minggu pagi berwarna pelangi.
Tidak sekedar berwarna-warni, tetapi juga membawa serta harapan. Betapa tidak?
Ia hadir seusai hujan. Sesuai keputusasaan, hilang harapan, malas, ia
mencerahkan semuanya. Meski dalam hadirnya masih ada sisa-sisa putus asa, namun
ia mampu menambah sisa-sisa energi sampai penuh kembali.
Sebut saja ia Matahari.
Begitulah aku menamainya. Setelah hujan, mataharilah yang membuat pelangi
muncul dengan indahnya.
Melihatnya penuh keringat setiap
hari, membuat semangatku bertambah satu strip. Meski sering melihatnya, aku tak
tau siapa namanya, tinggal di mana dan tentangnya yang lain. Tak apa. Semua
pasti ada tempat dan masanya sendiri.
Matahari selalu penuh peluh,
tanpa banyak bicara, namun selalu penuh ceria. Ia tak pernah luput tertawa
ketika teman-temannya berbagi kisah. Entah apa yang ia dan teman-temannya
ributkan, Matahari tak pernah lalai untuk tidak tertawa. Tak ada yang tak akan
meleleh melihat ia tersenyum, pun termasuk aku.
Aku mengaguminya sejak pertama
kali kulihat keringat mengucur deras dari tubuh mungilnya. Iya, untuk ukuran
lelaki, ia memang cukup mungil. Setiap pertemuan kami, ia selalu penuh peluh.
Hormon yang memproduksi keringat mungkin ia bayar berkali-kali lipat, karena
kerjanya yang sangat keras. Bagaimana dengan baunya? Entahlah. Aku tak pernah
berjarak dekat, sampai hidungku mampu mencium baunya. Bau harapan, mungkin.
Melihat Matahari menjadi
rutinitas buatku. Tak ada kisah yang menuntut kami berada di satu ruang kotak
yang sama, tapi tak menyurutkan langkahku untuk berada di jarak pandanng
terbaikku. Paling tidak 200-500 meter dari kerumunanya. Itu indah. Itu
menyenangkan. Itu, ahhh.. aku tak bisa menggambarkan lagi rasa-rasa itu.
Biarkan saja ia terus menyinari
dan menghangatkan aku dan jutaan manusia lainnya. Ia memang pantas ditakdirkan
untuk itu. ^^
Selamat pagi, matahari.
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment