Ia berjalan melewati gerbang
dengan ragu-ragu. Tiga tahunnya akan dihabiskan di tempat ini, yang benar saja.
Dalam hatinya ia terus bertanya-tanya, apa ia sanggup? Sementara ia tak
mengenal dekat seorang pun di tempat ini. Walaupun di atas kertas seharusnya ia
hanya membutuhkan waktu paling lama delapan jam setengah setiap harinya, tapi
tetap saja ia ragu.
Berada diantara laki-laki bukan
hal yang baru baginya, tetapi berada diantara orang-orang baru yang susah
untuknya.
Masa Orientasi Siswa Baru pun
dimulai. Perempuan yang hanya beberapa saja jumlahnya itu dijadikan satu kelompok.
Ia pun mulai mengajak bicara calon temannya itu. Tetapi ketidakpedulian yang ia
dapatkan. Ia berusaha tenang. Ahh.. lebih tepatnya diam. Ia berjanji pada
dirinya sendiri, akan berbicara jika ada yang mengajaknya bicara.
Satu hari hampir terlewati
dengan hambar olehnya, namun ia sedikit beruntung karena panitia yang juga
perempuan mengajak mereka masuk kelas. Satu persatu diperintahkan untuk maju
dan memperkenalkan diri. Karena terlalu grogi, ia pun lupa mengucapkan salam.
Tak mengira itu akan menjadi salah paham, ia pun melanjutkan berbicara. Sudah.
Setelah itu tak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya.
Sejak SMP, ia tak menyukai
sekelompok perempuan yang berhaha-hihi dan mengukuhkan kelompok mereka menjadi
sebuah gank. Dan diantara jumlah perempuan yang sangat minoritas, terbentuklah
sebuah gank yang jadi bulan-bulanan kakak kelas. Ia yang tak menyukainya itu,
mencoba metode lain dengan berbicara kepada perempuan di luar gank tersebut.
Berhasil? Tentu saja. Tapi tidak lama. Agaknya yang ia ajak bicara adalah orang
yang ingin berada di antara gank tersebut.
Hari kedua, lagi-lagi ia tak
menemukan semangat yang ada di kehidupan sebelumnya. Ketika berjalan ataupun
berada di kelas, ia selalu ingin mengibarkan bendera putih. Tidak tahan. Ia
rindu teman-teman SMPnya. Ia masih mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa
konsisten menolak tawaran guru di sekolah itu untuk terus menunggu sampai
pengumuman penerimaan siswa baru di hari terakhir. Sekali itu ia menyesal tidak
menjelekkan lagi nilainya, agar namanya tak usah saja ada di deretan ‘cadangan’.
Hari ketiga, ia masih tidak bisa
menemukan ritmenya, sampai kemudian gara-gara “piring lombok” ia mulai diajak
bicara. Ia masih kikuk dan tak tahu harus bereaksi seperti apa? Mulai saat itu,
ia biarkan saja semuanya berjalan seperti seharusnya. Ia mulai berfikir bahwa
mereka harus menerima apapun yang terjadi saat itu dan tiga tahun ke depan.
Hari keempat, kelima dan keenam
pun berjalan satu strip dari kata hambar.
Masa Orientasi Siswa pun
berakhir.
Hari-hari yang bernama SMA pun
ia sambut dengan penuh harap. Ia tidak mengharapkan akan hidup seperti umumnya
siswa SMA, tetapi sekeping cita yang ia tatap membuatnya berjalan lebih indah.
Perempuan dalam minoritas. Ia
paham lakunya. Ia hanya harus menjalankannya sesuai kodratnya.
….
(cont. perempuan (dua))
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment