Rindu itu bisa datang dan pergi sesuka hati tanpa permisi. Ia bahkan biasa datang bersama air mata.
Malam ini, sama seperti malam-malam nanggung di Hari Minggu biasanya. Hampir sepanjangnya habis di depan televisi. Tak ada yang spesial di jam-jam tanggung itu. Apalagi yang bisa dilakukan selain gonta-ganti channel.
Sampai akhirnya berhenti di 'We Sing for You'. Bukan dari awal sih, hanya pertengahan ke belakang. Cerita episode itu berbeda dari biasanya. Targetnya mengarah pada beberapa kelompok pengunjung taman hiburan. Awalnya tidak membuatku tertarik, hanya malas kalau mau ganti-ganti channel lagi. Kemudian target dari kejutan mereka adalah sekelompok anak SD yg bersahabat.
Lagu Sherina yg jadi soundtrack film Petualangan Sherina membuka kejutan kecil itu. Dan air mataku turun deras tanpa dikomando. Aku memang suka lagu itu, tapi tak sampai harus bercucuran air mata setiap mendengarnya.
Sedang sensitif? Mungkin.
Ahh.. mungkin sedang rindu tepatnya.
Rindu selalu datang mengiringi sepi.
Malam ini, begitu banyak hal yang akhirnya terfikirkan olehku. Betapa aku sangat tertinggal oleh mereka. Sangat-sangat jauh. Mimpi-mimpi mereka satu persatu mulai mendekat dan didekati oleh mereka. Sedang aku? Masih merangkak di antara perjalanan jauh yang masih berlabel akademis ini.
Rindu, sepi dan tertinggal.
Siapa yang ingin ditinggalkan? Tak ada. Begitupun aku.
Handphone yang notabene benda mati bisa ditangisi jika ia hilang, apalagi manusia yang dekat.
Mungkin aku bukanlah orang yang mempunyai banyak teman. Dan ketidakmampuanku untuk selalu berada diantara mereka selalu membuatu jengkel. Seringkali teman-teman dengan setengah bercanda mengatakan bahwa aku melupakan mereka. Aku sedih. Mana benar seperti itu. Mana mungkin pula aku sanggup berbuat seperti itu.
Oke. Setelah ini mungkin adalah berbagai pikiran konyolku, dan nyatanya telah aku lakukan.
Setelah lulus STM, satu teman terbaikku memutuskan untuk menikah. Aku senang, tetapi aku juga tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Dan akhirnya kuutarakan kekhawatiranku padanya. Bahwa aku takut kita tak lagi bisa berbagi kisah dan kasih lagi. Tetapi ia memberiku jawaban yang sangat menenangkanku. "Meskipun aku sudah berubah status, tetapi tak ada yang berubah dengan kita," katanya. Aku selalu percaya dengan apa yang dikatakan teman-temanku. Dan aku selalu memegangnya. Sampai suatu hari, jarak sudah benar-benar tak bisa kuhindari lagi. Karena ketidakmampuanku untuk berteman seperti orang pada umumnya yang sedang berjarak, kami pun semakin jauh. Kadang (sering lebih tepatnya) aku tak bisa berbasa-basi, baik itu di sms maupun di telepon, dan alhasil ketika sampai pada 'nggak tau mau bahas apa lagi' rusaklah aku.
Dan lagi, aku mulai terkungkung dengan perbedaan status kami. Permasalahan yang kami hadapi pun mulai berbeda. Dan aku sering merasa kebingungan dalam menempatkan diri. Di satu sisi aku merasa tidak bisa jika tanpanya, tetapi di sisi lain, aku takut menambah beban pikirannya. Dan tanpa kami sadari, jarak kami semakin menganga. Ada lubang besar di antara kami. Dan hingga kini lubang itu masih seperti sedia kala, malah lebih besar dari sebelumnya.
Aku sadar, dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang kaku, mau tidak mau membuatku serupa. Dan hal itulah yang membuatku tidak mempunyai banyak teman, apalagi teman dekat. Konsep pertemanan buatku bukan seperti gank yang beberapa orang akan berjalan kemanapun bersama-sama. Apalagi ketika STM. Kami sudah dituntut untuk bergaul secara merata. Apalagi diantara perempuan yang minoritas. Kisah perempuan diantara ratusan laki-laki ini mungkin akan kuceritakan lain kali.
Tak semua teman dekatku perempuan. Ketika mereka mempunyai pasangan, walaupun belum ke tahap pernikahan, tetap saja hal itu membuatku kikuk sendiri. Entah kenapa responku selalu menjaga jarak. Aku takut mereka bermasalah karena berteman dengan lawan jenis, dan lagi tidak semua pasangan mereka bisa mengerti.
Memangnya sudah pernah merasakan? Sudah! Teman perempuan saja, kekasihnya pernah melabrakku karena ia pikir aku memberi pengaruh buruk, padahal ia sendiri yang menjengkelkan.
Rapuh. Ikatan yang kami jalani sebelumnya begitu mudah terpatahkan oleh jarak.
Dan sekarang, diantara teman-teman perempuan hanya tinggal aku sendiri yang masih melajang (belum menikah, bahkan belum mempunyai pasangan). Rasa kesepian itu semakin besar. Bukan berarti ingin segera menyusul mereka, bukan!
Sampai kini, aku masih selalu merasakan perasaan yang sama. Posisi dan sikap yang kuambil pun selalu sama.
Aku tak mau menyebut teman baru, karena di setiap baru selalu ada lama. Bagiku mereka semua sama dan menempati tempatnya masing-masing.
Kekonyolanku sendiri yang membuat kesepian dan rindu itu semakin menjadi. Mungkin juga aku tak seperti yang diharapkan, sehingga jarak antara kami pun semakin lebar. Dan jurang di antara kami membuatku takut untuk berjalan kembali.
Rindu malam ini begitu menjadi-jadi.
Entah apa yang bisa kulakukan?
Jika rindu bisa menjadi sederhana dan menghilangkan jarak, aku ingin melakukannya.
Jika rindu menimpa sepi seperti ini, lelah yang mengusaiku.
Semoga aku masih memiliki tempat di hati teman-teman yang begitu besar artinya untukku.
Semoga meskipun singkat, akan ada waktu di mana kami bisa merasakan perasaan yang sama seperti waktu-waktu dulu.
Semoga rindu ini akan terobati..
Terima kasih teman-temanku.. ^^
Namanya Rindu
Diposting oleh
metrika
at
Senin, 16 Desember 2013
Label: alkisah
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment