Sebuah Cerita Ungkapan Ceria

"let's walk through this journey of life together" - RM

Drama Queen


Empat puluh hari yang lalu, kami (terlebih aku) kehilangan salah satu orang yang kami sayangi. Kakek (aku memanggilnya Yai) meninggalkan kami untuk menemui penciptaNya, kekasihNya, istrinya, cucunya, saudaranya, teman-temannya dan berbagai orang lain yang telah pergi mendahuluinya.

Dulu, saat ia masih sehat, aku pernah menuliskan perasaan tentang ia di note facebook. Saat itu, sebenarnya hanya ingin sekedar mengingatkan kepada saudara-saudara yang tinggal berjauhan dari kami, bahwa kami memiliki Yai yang luar biasa. Dua puluh tiga tahun hidup bersamanya, rasanya hafal berlebihan bagaimana tindak-tanduk ia, bagaimana sifat dan keras kepalanya.

Rasanya tak ada yang lebih keras kepala daripadanya. Tapi ia selalu mengingat setiap jengkal dalam ingatannya. Hanya beberapa bulan terakhirnya yang ia habiskan dengan sebagian ingatannya hilang. Atau orang biasa menamakannya pikun. Ahh, tapi sebenarnya ia tak benar-benar pikun, karena ia masih mengingat berbagai macam hal, hanya waktu dan tempat yang ia lupakan. Di akhir hidupnya, ia mengingat semua rekan-rekan yang tak pernah kukenal sebelumnya. Bahkan ia mengingat begitu sempurna ketika disinggung tentang orang yang ia sebut. Sayangnya, semua orang yang ia sebutkan saat itu, telah mendahuluinya jauh sebelum ia hanya bisa berada di tempat tidur.

Dua puluh tiga tahun dihabiskan satu atap dengannya. Aku tahu, ketika ia tak mendapatiku di manapun di sudut rumah, ia pasti mencariku, menanyakanku kepada setiap orang yang ada di rumah. Ketika ia hanya terbaring di atas tempat tidur, aku tak benar-benar tahu bagaimana perasaanku saat itu. Tak bisa selalu menemaninya. Tak bisa selalu berbuat apapun untuknya. Tak bisa meluangkan waktu lebih banyak untuknya. Tapi ketika ia masih terus mengingatku dan kedua adikku di saat ia tak bisa dengan sempurna mengingat cucu-cucunya yang lain, aku tetap bisa tersenyum dan dengan riangnya berbagi tawa dengannya. Tapi ketika tiba-tiba ia melupakan semua tentang kami dan waktu, aku masih tidak benar-benar yakin ia melupakanku. Aku menanyakan siapa aku dengan tawa yang biasa aku lakukan. Tatapan dinginnya yang menjawab ketidakingatannya, membuatku begitu terpukul. Sudah setua itukah ia?

Tiga puluh menit sebelum ajalnya datang, aku masih menyuapinya biskuit dan air putih manis. Ia sudah tak bisa lagi mengunyah. Ia juga sudah tak bisa lagi memberi respon “cukup” atau “lagi” atau “enak” atau “minum”. Ia sudah tak bisa lagi mengatakan “sakit”, “aduh”. Ia sudah tak bisa menjawab “sama apa?” ketika kutawari makan. Ia hanya bisa mengerang tanpa kutahu apa arti erangan tersebut. Dalam hati aku berbicara kalau aku sudah mengikhlaskannya (hal yang tak bisa aku katakan beberapa hari sebelumnya). Aku duduk di samping kakinya. Aku belakangi tubuhnya, karena masih begitu tak sanggup melihatnya kesakitan dan mendengar erangannya.

Ia dijemput Malaikat Maut, beberapa detik setelah ibu menyuapi makan dan mengganti diapers-nya. Kami berdua begitu terpukul. Belum siap.

Empat puluh hari, kulewati dengan begitu tak tentu arah. Banyak hal yang terjadi. Kehidupan kami pun mulai berubah ritmenya. Satu pergi, dua menginggalkan. Satu hilang, yang lain tumbang. Ibu, dan beberapa pakdeku jatuh sakit. Dan lagi selama satu minggu penuh ibu tak bisa turun dari tempat tidur. Aku, yang biasanya hanya menjadi kakak bodoh dan malas pun tak bisa duduk diam. Terbiasa tak begitu diandalkan, tiba-tiba berubah. Semua memanggilku. Memintaku berbuat A, B, C, D, sampai T. Aku yang biasanya bisa kemanapun dan kapanpun, tiba-tiba hanya ada di tiga rumah bergantian. Sedih? Ahh tidak. Hanya ritmeku sudah berubah drastis.

Selama empat puluh hari aku memainkan ritmeku dengan senang hati. Aku hanya merasa tak perlu menjelaskan apa yang terjadi padaku. Dan aku tahu, beberapa pihak saat ini menghakimiku sedemikian rupa, karena tak pernah menampakkan batang hidungku. Mereka yang tak pernah mencari B dibalik A, pasti sudah menghitamkan namaku. Sampai sekarang pun aku tak berniat menjelaskan B itu.

Duniaku memang sudah berubah. Hanya dalam waktu empat puluh hari. Kesepian? Iya. Kadang aku merasakan itu. Sebelum-sebelumnya aku selalu berada di antara banyak sebayaku. Sebelum-sebelumnya aku selalu berada di antara kesenanganku. Kini hanya setiap soreku yang ditemani oleh berbagai drama Korea yang ada di televisi.

Empat puluh hariku penuh dengan drama. Layaknya panggung hiburan yang ada di televisi. Empat puluh hariku penuh dengan skenario yang ajaib, layaknya film-film korea yang setiap hari aku tonton, hanya saja minus pemeran utama lelaki. Tak tahu sampai kapan skenario itu berjalan, di mana klimaks, anti klimaks dan endingnya berada, yang jelas aku hanya ingin menjalaninya sepenuh hati. Tak peduli bagaimanapun jalannya.

Selamat jalan, Yai..
Kami akan selalu mengingatmu dan keluarga lain yang telah meninggalkan kami juga…

0 komentar:

Posting Komentar or Reply Comment

About this blog

"Don't start with seeing, start with believing..."
-Master's Sun-

SayaSayaSaya

Foto Saya
metrika
perempuan yang sedang bermetamorfosa jadi semut keciill.. ^^
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

Followers