Beberapa hari ini, eh, mungkin minggu, dunia saya mulai berputar kembali. Tapi bukan berarti sebelumnya dunia saya berhenti berputar juga sih. Ada semangat dan harapan berputar-putar di kepala saya, intinya. Dari semangat berolahraga rutin, walaupun hanya di hari Minggu dan hanya lari-lari kecil mengitari alun-alun Kota Batu, sambil sesekali ikut senam sampai keringat mengucur. Sampai bersemangat berhemat seperti sewaktu masih di bangku STM.
Sederhana sih, sejak kuliah, saya merasa agak berubah, terutama lingkungan sih ya. Di STM, kebetulan yang menarik, saya selalu berada di antara teman-teman yang bersahabat dengan lingkungan, kecuali kalau sedang makan bersama, sih. :)
Dengan teman-teman PMR, pernah membuat teror visual dengan menempelkan larangan-larangan sepenjuru sekolah, larangannya mulai dari yang paling biasa, "Jangan buang sampah sembarangan", "Buang sampah di sini (di tempel di dinding di atas tempat sampah)", "Bayar dengan uang pas", sampai yang tidak biasa "Jangan pacaran di sini (di pasang di sekret, di dekat toilet, dan tempat-tempat tersembunyi lainnya)". Pernah juga bikin taman kecil di samping UKS yang niatannya bunga-bunganya dibentuk kata PARSTAMA (walaupun hanya bertahan beberapa bulan saja). Tapi gara-gara bikin taman itu, kami dilirik oleh Kepala Sekolah, dan beliau pun memberikan uang seratus ribu rupiah dari kantong pribadinya untuk membeli bunga-bunga dan rumput yang lebih bagus. :)
Dengan teman-teman PMR, pernah membuat teror visual dengan menempelkan larangan-larangan sepenjuru sekolah, larangannya mulai dari yang paling biasa, "Jangan buang sampah sembarangan", "Buang sampah di sini (di tempel di dinding di atas tempat sampah)", "Bayar dengan uang pas", sampai yang tidak biasa "Jangan pacaran di sini (di pasang di sekret, di dekat toilet, dan tempat-tempat tersembunyi lainnya)". Pernah juga bikin taman kecil di samping UKS yang niatannya bunga-bunganya dibentuk kata PARSTAMA (walaupun hanya bertahan beberapa bulan saja). Tapi gara-gara bikin taman itu, kami dilirik oleh Kepala Sekolah, dan beliau pun memberikan uang seratus ribu rupiah dari kantong pribadinya untuk membeli bunga-bunga dan rumput yang lebih bagus. :)
Karena jadi anggota PMR itulah, sering diajak untuk jadi Tim Kesehatan oleh teman-teman dari Pecinta Alam (PA), hampir setiap ada kegiatan. Dan saya jarang melewatkannya, kecuali ke gunung. Saat itu, saya baru belajar untuk membawa sampah saya kemana-mana kalau tak bertemu dengan tempat sampah. Nah, bersama mereka, semakin tebal lah hal itu di uji. Mainnya ke hutan, mana ada tempat sampah, yang ada, sambil berjalan, kami memunguti sampah yang ditinggalkan penghuni sebelumnya. Awalnya saya berfikir, kenapa mereka mau repot-repot? Saya saja membawa sampah saya sendiri sudah repot sendiri. Ada satu teman dulu yang ketika saya menemuinya di perjalanan di hutan tersebut, ia sudah membawa botol air mineral 1,5L, tidak hanya satu buah, tapi belasan. Belum lagi plastik dan kresek. Padahal niatan kami diklat, tapi di perjalanan malah menemukan sampah sebegitu banyaknya. Dan yang saya fikir hanya orang kurang kerjaan yang melakukannya, tak tahu dari mana asal rimbanya, saya pun ikut-ikutan mereka memunguti apa yang bisa saya pungut sambil jalan.
Saya juga terbiasa dengan bebas asap rokok bersama teman-teman saya. Bukan berarti mereka tidak merokok. Sebagian besar dari teman-teman saya merokok, tapi yang saya senang dari mereka, mereka menghormati kami yang tidak merokok, dan kami pun melakukan hal sama, menghormati mereka yang merokok. Yang lebih asyik lagi, menurut saya, adalah status kami sebagai angkoters. Kami pengguna transportasi umum, dan tak pernah mengeluh akan hal itu. Ya kalau memang ada motor yang bisa kami pakai, ya kami pakai, kalau tak ada pun, kami tak pernah risau.
Nah, sejak menjalani kehidupan kuliah, saya sedih. Karena lingkungan sudah jauh berubah. Lingkungan asyik yang seperti sebelumnya, sudah hilang dari kehidupan saya. Susah sekali kalau diajak buang sampah di tempatnya. Membawa sampah sejenak sampai ke tempat sampah pun enggan. Pura-pura terjatuh, padahal sengaja dijatuhkan. Enggan kemana-mana kalau tak ada motor. Enggan jalan kaki, kalau tak ada yang menjemput. Semua colokan listrik penuh, tapi tak ada apapun yang menempel. Semua alat elektronik menyala, padahal tak dilihat. Hampir lima tahun terus bersama lingkungan seperti itu, membuat saya memicingkan mata, mencari orang-orang yang rindu seperti saya. Nihil.
Sampai akhirnya, pertengahan bulan lalu, saya bertemu mereka. Ketidaksengajaan melalui jejaring sosial, membuat saya bersikukuh untuk bergabung bersama mereka. Awalnya sedikit ragu, tapi akhirnya memantapkan diri, setelah berkata pada diri sendiri bahwa saya membutuhkan mereka. Butuh berada di antara orang-orang yang mempunyai semangat yang sama. Dan alhasil, di sanalah saya. Di antara orang-orang yang di sela-sela kesibukannya sendiri, rela dengan senang hati memikirkan "nasib" Kota Batu untuk puluhan tahun ke depan.
"Masa' kita harus nunggu Kota Batu menjadi penyumbang emisi terbesar, baru kita berbuat sesuatu??" ucap Kak Alfien, kordinator kami.
Kata-kata itu sih, yang sampai sekarang terngiang-ngiang di kepala saya. Tidak perlu Aksi yang besar, tapi Aksi kecil yang dilakukan secara konsisten pasti akan membawa perubahan besar. Dan di sanalah saya berada saat ini. Di antara orang-orang yang bercita-cita mulia. Dengan mereka yang berbaju hitam setiap kali berAksi. :)
Ayo! ikut!! :)
dimulai dari yang kecil. dan dimulai dari diri sendiri.
:)
2 komentar:
Hah.. sampah lagi MemeDhe??? Xixixixii...
Hidup sampah deh pokoknya,,,
tentang bagaimana bersikap bijak kepada alam.. :))
Posting Komentar or Reply Comment