Sebuah Cerita Ungkapan Ceria

"let's walk through this journey of life together" - RM

Empat Puluh Hari tanpa Bapak



Minggu, 22 April 2018, tepat empat puluh hari Bapak pergi. Kepergian yang begitu tiba-tiba. Meski sudah diberi alarm sejak hampir dua bulan sebelumnya, tetapi tetap saja waktu dua bulan masih saja belum cukup bagi kami untuk benar-benar siap ditinggal oleh Bapak.

24 Januari 28 tahun silam, saya lahir ke dunia ini. Tradisi kecil keluarga kami, entah dimulai sejak kapan saya tak begitu mengingatnya. Yang jelas setiap ada salah satu diantara kami yang berulang tahun, kami akan makan keroyokan di loyang seng yang tidak begitu besar, tapi sangat besar jika dimakan seorang diri. Meski hanya ada nasi goreng seadanya (karena membuat nasi kuning itu ribet sekali) yang diberi campuran telur dadar dan sosis siap makan yang dijual eceran di warung-warung. Setidaknya empat kali setahun kami melakukan itu (Bapak dan adik pertama berbagi hari ulang tahun) dan meski sederhana kami bahagia melakukannya. Kami keluarga yang tidak begitu pandai berbicara satu sama lain, sertidaknya empat kali setahun kami membuka diri satu sama lain, saling mendoakan dan saling mengolok-olok satu sama lain.

Tapi tahun ini kami absen melakukannya. Kondisinya sedang sedikit berbeda karena Bapak sedang tidak dalam kondisi yang sehat. Bapak yang  selama 53 tahun hidupnya tidak pernah berhenti bekerja keras, sudah beberapa hari terkulai lemah di atas tempat tidur.


Dua hari setelahnya, Bapak diharuskan untuk rawat inap di Rumah Sakit. Limpanya bengkak katanya. Setelah mendapat guyuran cairan infus, meski belum kembali ke kondisi semula, Bapak sudah mulai terlihat lebih segar, tubuhnya sudah tidak pucat lagi, tandanya darah merah sudah kembali mengalir ke seluruh tubuh Bapak. Meskipun tubuhnya telah banyak kelihangan lemak dan tulang-tulangnya kehilangan banyak daging yang menyelimutinya, Bapak sudah terlihat leih semangat. Dan meskipun Bapak masih belum bisa tidur terlentang, tetapi sudah mampu berjalan sendiri ke kamar mandi yang jaraknya cukup jauh untuk ukuran orang yang sedang tidak sehat.

Bapak adalah sosok yang senang berbicara, bercerita dan berceloteh. Pun ketika Bapak sedang lemas, tak ada henti kata-kata keluar dari bibirnya. Ada saja yang diceritakannya. Mulai dari masa kecilnya yang tidak pernah mau berhenti belajar, masa mudanya yang ia habiskan untuk menafkahi dirinya di perantauan sampai bagaimana ia bertemu dengan ibu. Pun ketika kawan-kawan sejawatnya datang menjenguk, ia terus menerus berceloteh, mungkin ia ingin menegaskan kepada semua yang menjenguknya, kepada istri dan anak-anaknya bahwa ia baik-baik saja, bahwa ia akan kembali ke keadaannya semua dalam waktu dekat.

Rasa senang melihat Bapak yang mulai sehat, terusik kembali. Dokter meminta kami (ibuk, saya dan kedua adik) untuk bisa berkumpun di Rumah Sakit dan berbicara dengan dokter tentang keadaan Bapak. Malam sebelum esok pagi bertemu dokter, kakak sepupu yang juga seorang dokter memberitahukan kepada saya dan adik-adik tentang kecurigaannya terhadap sakit yang diderita Bapak. Air mata yang sebisa mungkin ditahan, ternyata memberontak. Tangis saya pecah. Saya menolak untuk percaya kata-kata yang keluar dari mulut kakak sepupu saya. Dia pasti salah, batin saya. Tatapan kedua adik saya kosong, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Yang terlihat jelas dari raut wajah mereka adalah kaget dan tak percaya apa yang telah ia dengar. Meski hanya kemungkinan, prediksi, tetapi kemungkinan itu besar, katanya.

Esok paginya kami terburu-buru datang ke rumah sakit. Dokter sudah menunggu anak-anak Bapak sedari pagi. Ia mengajak kami berbicara dengan sedikit menjauh dari Bapak. Hati saya remuk, detak jantung saya semakin tak beraturan, ingin meledak rasanya. Meski malam sebelumnya saya sudah diberitahu hal serupa, tapi tetap saja pukulan itu semakin telak rasanya. Meski Dokter Spesialis Penyakit Dalam mengatakan masih memerlukan observasi dan tes lanjutan, tetapi tetap saja, segala kemungkinan yang dokter katakan sebelumnya rasa-rasanya semakin menjadi kenyataan.

Kanker

Penyakit yang diderita Bapak. Yang menghabiskan daging-daging yang ada di tubuh Bapak. Yang membuat Bapak enggan untuk mengisi perutnya kecuali bubur sumsum yang di buat sendiri oleh Ibuk, karena sedikit saja makanan masuk ke perutnya sudah tak tertampung lagi katanya. Yang setiap hari membuat tubuh Bapak panas dingin terus menerus. Yang terus membuat Bapak kesakitan di sekujur tubuhnya, sampai-sampai ia tak tahu lagi bagian mana yang sebenarnya sakit.

Empat hari menginap di Rumah Sakit, Bapak sudah diperbolehkan pulang, padahal Bapak baru saja melakukan CT-Scan, dan hasil dari tes tersebut belum dipaparkan kepada kami keluarganya.

Satu bulan kami lewati dengan ketidak jelasan. Kami tidak tahu dengan benar apa yang harus kami lakukan. Dokter Spesialis Bedah Digestive yang menangani Bapak lebih lanjut tidak begitu membantu. Kami tahu kami harus pasrah, tapi bukan berarti kami harus putus asa, bukan? Tapi dokter bertolak belakang dengan kami. Kami tidak mengharapkan diberi harapan yang muluk-muluk,kami juga orang yang pernah mengecam pendidikan, sedikit banyak tahu bagaimana mengerikannya penyakit kanker itu. Kami hanya berharap untuk bisa diarahkan harus bersikap seperti apa dan apa yang seharusnya kita lakukan dari sisi medis. Tapi kami tak mendapatkan apapun dari dokter itu. Kepercayaan Bapak terhadap dokter tersebutpun mulai luntur. Bapak mulai enggan untuk berobat ke dokter lagi dan mulai mencari solusi kesehatan dari berbagai tempat lain.

“Yang penting tetap di jalan Allah dan nggak musyrik, ayo dijalani”, begitu kata Bapak meyakinkan kami setelah Bapak mendengar rekomendasi sejawatnya ke beberapa tempat berobat.

Kanker adalah penyakit yang mematikan. Tidak diketahui apa penyebabnya dan tidak ada obatnya, begitu kata berbagai artikel.

Sampai Bapak ditangani oleh dokter kedua, dokter tidak pernah menyebut kata kanker atau sebutan medis lainnya. Diagnosis dokter selalu Splenomegali atau limpa bengkak. Sejujurnya karena dokter tersebut tidak pernah menggunakan kata kanker, harapan saya mulai tumbuh. Dokter yang konsisten tidak memberikan informasi dengan jelas dan kakak sepupu yang konsisten menyebut kata getah bening di setiap konsultasi tentang kondisi bapak, membuat saya bingung. Apa sebenarnya penyakit Bapak?

Bodoh saya, saya tidak mengkroscek dengan benar apa-apa saja yang sebelumnya diberitahukan tentang kondisi Bapak. Saya kesampingkan kemungkinan kanker kelenjar getah bening, karena ketakutan saya menghadapi kenyataan itu jika memang itu benar. Seharusnya saya hadapi ketakutan saya itu, bukan hanya pasrah melihat Bapak semakin lemah. Seharusnya saya berusaha lebih keras membujuk bapak untuk mau berobat kembali ke rumah sakit. Seharusnya saya bekerja keras mencari alternatif dokter dan rumah sakit lain, yang notabene Bapak merasa sudah tidak dimanusiakan oleh dokter.

Dan semuanya sudah terlambat.

Saya berhasil membujuk Bapak untuk berobat di rumah sakit yang lebih baik, ketika penyakit bapak sudah menggerogoti tubuh Bapak. Lambung bapak sudah sudah mulai kehilangan fungsinya, isinya hanya darah yang ketika keluar lewat mulutnya, kami merinding ketakutan. Ketika lambungnya dibersihkan dari darah, Bapak  semakin kesakitan. Selang bening panjang menjulur dari lambung hingga keluar melalui lubang hidungnya sebelah kiri. Berkali-kali bapak meronta meminta selang dilepas, kami tak punya kuasa.

Bapak yang ketika sehat pun tak mampu menahan sakit, sampai akhir hayatnya ia harus merasakan sakit yang luar biasa.

Fungsi ginjal Bapak semakin hari semakin tak berfungsi. Beberapa hari sebelum Allah memanggil Bapak, Bapak sama sekali tidak buang air kecil maupun besar. Kateter yang terpasang di (maaf) kemaluan Bapak begitu menyiksa Bapak. Rintihan (yang kemudian menjadi paksaan) yang meminta untuk dilepas malah kami balas dengan kemarahan. Bapak terus meronta kesakitan.

“Kenapa Bapak nggak mau ngerti? Kenapa Bapak nggak mau menahan sakit sebentar saja? Kenapa Bapak jadi nggak mau berusaha untuk sehat dan mendengar apa yang dikatakan oleh dokter? Kenapa Bapak nggak mau memikirkan Ibuk, Saya, Luhung dan Dandung? Kenapa Bapak egois?”ucapku bersimbah tangis bersahut-sahutan dengan rintihan, rontaan, keluhan dan paksaan Bapak.

Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang terlambat. Dan hingga kini, yang ada dalam hati saya adalah penyesalan, penyesalan dan penyesalan. Kenapa waktu itu dengan mudah kemarahan saya terpancing? Seharusnya saya bisa lebih sabar menghadapi Bapak dan segala kerasa kepalanya. Seharusnya saya bisa lebih telaten melayani Bapak. Seharusnya saya bisa lebih mengerti dan memahami kondisi Bapak saat itu.

Waktu yang dibutuhkan oleh kanker untuk menggerogoti sistem kekebalan tubuh manusia itu berbeda-beda, ada yang 5 tahun, 4 tahun, 2 tahun, 1 tahun, bahkan 1 bulan. Dan kanker getah bening yang ada di tubuh Bapak tumbuh dengan begitu lincahnya. Tidak sampai dua bulan sel kanker menggerogoti tubuh Bapak yang menolak keras untuk menyerah hingga detik terakhir Ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, di depan Ibu dan Saya.

-Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya (Letto, Memiliki Kehilangan)-

Dulu, saya pikir saya tidak akan terlalu kehilangan ketika Bapak pergi. Saya bukan anak perempuan yang dekat dengan orang tuanya. Malah sehari-hari saya selalu berusaha menghindari duduk bersama Bapak. Bapak yang angin-anginan sangat susah menebak kondisi hatinya. Saya tidak mau kalau tiba-tiba menjadi korban luapan emosinya padahal sebenarnya orang lain yang membuatnya marah. Meskipun kami sedang berbincang-bincang menyenangkan, tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi satu menit kemudian. Bapak bisa tiba-tiba senang hatinya dan membelikan kami makanan, Bapak bisa tiba-tiba marah, Bapak juga bisa tiba-tiba mengomel dan yang kadang membingungkan adalah alasan kemarahan dan omelan Bapak itu dari kesalahan Saya beberapa tahun yang lalu. Tetapi kini, saya merindukan omelan Bapak yang datang begitu tiba-tiba itu.

Dulu saya pikir saya akan biasa-biasa saja ketika tak ada Bapak di sekitar saya untuk selama-lamanya. Karena tidak setiap saat saya bertemu dengan Bapak, tidak setiap saat pula saya berbincang dengan Bapak. Meski jarang berbincang bersama Bapak, bukan berarti tidak pernah sama sekali. Satu-satunya yang bisa menjadi bahan perbincangan kami adalah kondisi di sekitar kami, ya memang akhir-akhirnya berhubungan dengan perpolitikan. Bukan perpolitikan yang bagaimana-bagaimana, hanya sebatas bagaimana kondisi politik di pemerintah pusat, daerah dan di sekitar kita. Kisruh antara RT sebelah dan sebelahnya lagi, kisruh tetangga-tetangga kami yang sebabnya lagi-lagi kekuasaan, sampai kisruh tetangga-tetangga di sawah yang terganggu dengan bau peternakan bebek di salah satu sudut sawah.

Selama saya kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang sebenarnya bertolak belakang sekali dengan apa yang saya pelajari di bangku SMK yang semuanya berbau logika dan teknik, saya tidak terlalu mengalami banyak kesulitan karena berbincang dengan Bapak. Kalau dipikir-pikir lagi, saya membaca berita selain karena tetap ingin tahu apa yang terjadi, juga sebagai bahan pembicaraan kalau-kalau tidak sengaja terlibat pembicaraan dengan Bapak. Saya tidak mau saja saya yang sudah memakai telepon pintar ini ketinggalan dengan Bapak yang hanya membaca majalah “Panjebar Semangat”, diskusi ringan di pasar dengan pedangang-pedagang di sekitar bedhak Bapak, dan membaca running text ketika menonton televisi.

Empat puluh hari berlalu tanpa Bapak.

Rasanya masih tidak percaya Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Rasanya Bapak masih bersama kami, Bapak hanya sedang pergi sebentar dan sewaktu-waktu kembali ke rumah. Sampai saat ini, ketika saya sedang bermalas-malasan di sofa ruang tamu, selalu was-was ketika mendengar langkah kaki. Takut tiba-tiba Bapak datang dan menegur saya untuk bangun dan pindah ke kamar. Ketika pagi sedang memasak pun saya tetap was-was, takut tiba-tiba Bapak pulang dan masih banyak yang masih harus saya kerjakan. Ketika saya selesai buang air kecil pun saya was-was, takut tiba-tiba Bapak mengingatkan untuk menghidupkan keran air kalau akan buang air kecil. Ketika saya terbangun tidur tengah malam pun saya masih was-was, takut tiba-tiba Bapak bilang untuk menjauhkan charger atau colokan dari dekat bantal saya. Ketika saya sedang berada di rumah sendiri dan memakai celana pendek yang sebenarnya tidak terlalu pendek-pendek amat untuk ukuran di dalam rumah, saya takut tiba-tiba Bapak menyentil untuk mengganti pakaian yang panjang atau masuk saja ke kamar.

Bapak setiap pagi berangkat pukul 3 pagi, di saat anak-anaknya masih nyenyak-nyenyaknya tidur, dan pulang sekitar pukul 8 atau 9 pagi, di saat anak-anaknya sedang asyik-asyiknya bersama teman-temannya di sekolah. Ketika anak-anaknya pulang, Bapak baru saja membaringkan tubuhnya setelah menggarap sawah. Dan ketika Bapak bangun dan siap untuk berbincang dengan keluarganya, anak-anaknya sedang kelelahan dan tidur lebih awal. Susah sekali bukan bertemu dengan Bapak? Salah satu penyesalan yang begitu saya sesali. Tidak banyak memori yang bisa kami buat bersama. Penyesalah yang paling besar adalah kami tidak mempunyai foto keluarga sama sekali, karena kami berlima sama-sama bukan orang yang photogenic yang gemar berfoto di setiap moment, kadang ingin, tapi tak pernah dilakukan. Segan. Dan juga enggan. Bukan enggan mempunyai memori bersama, tetapi enggan untuk bergaya di depan kamera. Lima orang yang kaku sepertinya tidak terlalu bagus di depan kamera. Keseganan dan keengganan yang akhirnya berbuah penyesalan yang begitu besar.

Yang secara pribadi membuat saya menyesal, bukan menyesal, apa ya, sedih mungkin ya, ada satu keinginan Bapak yang sempat diutarakan ketika Ia sendang terbaring sakit, Ia ingin mempunyai cucu sendiri. Dari dulu Bapak memang suka anak kecil. Setiap ada keponakan yang main ke rumah, selalu diajak bermain dan jalan-jalan oleh Bapak. Sebelum-sebelumnya, ketika Bapak sehat, Bapak sama sekali tidak pernah menyinggung tentang pernikahan. Bapak tidak ingin memaksakan kehendaknya dan ingin membebaskan anaknya untuk memilih pasangannya sendiri. Meski ada orang yang berniat “meminta” anaknya, Ia tidak pernah menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ketika Bapak sedang lemah, Ia berkata, “Mbok ya jangan lama-lama kalo nyari jodoh, Bapak sama Ibuk kan juga pengen punya cucu sendiri,” saya hanya bisa membalasnya dengan air mata. Memangnya saya bisa apa lagi?

Bapak yang sebelumnya tidak pernah menanyakan dan membicarakan masalah pribadi saya, tiba-tiba memberi pesan macam-macam untuk kriteria calon menantunya nanti, masih dengan air mata yang mengalir deras di mata saya. Pun ketika terbaring di rumah sakit, dengan keadaan lemah, Ia melarang saya ini itu agar nantinya saya tidak kesusahan mencari jodoh. Entah kapan akan terjadi, tapi tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa acara sakral itu akan saya lalui tanpa Bapak yang akan menyerahkan saya kepada pria saya nanti. Tidak ada Bapak yang akan menjadi wali saya nantinya.

Tidak pernah terpikirkan sama sekali, saya dan kedua adik saya akan melalui berbagai macam kerasnya hidup tanpa ada teguran dan omelan dari Bapak.

Empat puluh hari tanpa Bapak.

Rasanya masih tidak percaya Bapak meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tetapi kami harus menerimanya. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya mendoakannya dan menjalani hidup yang terbaik agar Bapak tenang di Sana. Kami hanya bisa menjalankan pelajaran baik yang Bapak ajarkan kepada kami.

Semoga Bapak tenang di Sana.
Innalillahi Wa Innailaihi Roji’un.

0 komentar:

Posting Komentar or Reply Comment

About this blog

"Don't start with seeing, start with believing..."
-Master's Sun-

SayaSayaSaya

Foto Saya
metrika
perempuan yang sedang bermetamorfosa jadi semut keciill.. ^^
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

Followers