“Kita simpan saja
mimpi-mimpi kita. Ikuti perintah Mamahmu. Jangan jadi anak durhaka,” kata
kekasihku akhirnya.
Aku terdiam menahan air mata yang
ingin segera dijatuhkan. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Berbagi
kasih dengan kekasihku. Selalu setiap malam, kami menyempatkan diri untuk
saling mendengarkan. Biasanya kami berbagi hanya lewat udara malam. Tapi tidak
kali ini. Entah kenapa, aku ingin segera bertemu dengannya dan menumpahkan
segala isi kepalaku.
Rasa sayangku pada kekasihku dan
orangtuaku jangan pernah dibanding-bandingkan. Mereka mempunyai level yang
berbeda, tentu saja. Kekasihku tak hanya menjadi kekasih. Kadang ia adalah
kakak lelaki yang tak pernah kupunyai. Kadang ia adalah sahabat lelaki yang
satu persatu hilang seiring berubahnya statusku dan mereka. Dan ia adalah
kekasih yang selalu bisa menanamkan kepercayaan, keterbukaan dan komunikasi
yang tak hanya sekedar berbicara kepadaku. Sedang orang tuaku, menjadi sisi
dimana aku harus bisa menjadi anak sematawayang mereka. Yang itu artunya, hanya
akulah yang menjadi tumpuan masa depan mereka. Dan di pundakku lah segala
mimpi-mimpi mereka akan diwujudkan.
Tidak seharusnya aku berdiri
diantara cintaku yang tak tertahankan untuk keduanya. Sejak awal hubunganku
dengan kekasihku, aku tak pernah benar-benar percaya jika aku harus
mengakhirinya karena ketidakpercayaan Mamah atas kami. Aku bukan tak pernah
me-RUPA-kan kami kepada Mamah. Tapi aku tak menyangka jika akan berakhir
seperti ini. Percuma juga memohon tameng atas hubungan kami kepada Papah. Mana
bisa Papah menolak permintaan Mamah. Pada kondisi normal pun tidak, apalagi
ditengah setiap erangan Mamah seperti sekarang ini. Aku semakin dituntut untuk
maklum atas semua permintaan Mamah di tengah kesakitan Mamah.
Aku mengurai benang kusut yang
kuceritakan kepada kekasihku dengan berat hati. Rasa di hatiku meminta
pengertian untuk tak mengeluarkan kata-kata yang mengarah pada berakhirnya
kami. Tidak!! Bukan ini yang aku inginkan. Rasa cintaku pada mereka sama sekali
tak ingin kehilangan keduanya. Aku akan kembali hilang jika tak ada cinta
keduanya. Aku tak akan pernah menjadi utuh jika salah satu diantara mereka
menghapus diri.
“Harus seperti itu?” tanyaku lemah.
Belaian lembut dan lemah jemari
kekasihku pada kepalaku mengiris-iris hati dan perasaanku. Aku luka. Terlalu
dalam untuk bisa berfikir secara rasional.
“Kamu sayang Mamah, kan?” tanyanya lembut.
Aku mengangguk.
“Inget salah satu mimpi kita, bahwa
kita akan bercinta di atas ridho Tuhan?” tanyanya meyakinkanku. Matanya menatap
tajam mataku. Cukup meyakinkanku bahwa dia serius atas segala ucapannya.
“Iya ingat. Tapi kita bukan pasangan
beda keyakinan yang tak dipersatukan Tuhan karena terhalang restu,” jawabku.
“Sayang, dengar. Kalau kita
diciptakan untuk masing-masing dari kita, Tuhan tak akan diam, bukan?” ucapnya sambil mengusap pipiku lembut.
“Itu klise, sayang...” potongku. Ya
memang klise. Di luar sana, banyak pasangan kekasih yang berpisah dengan
tumpuan alasan, kalau berjodoh akan dipersatukan. Tapi nyatanya, sejengkal demi
sejengkal jarak mereka akan semakin bertambah. Dan hilang sudah cinta diantara
mereka. Aku tak pernah bisa percaya konsep itu.
“Tapi surga tetap di telapak kaki
Ibu, sayang,” ucap kekasihku pendek dan cukup menghentakku.
Aku terdiam dan berlalu meninggalkan
kekasihku. Aku sudah tak bisa berfikir lagi. Ya ya ya.. Selama ini aku
meninggalkan konsep itu demi berbagi kasih dengan kekasihku. Sekarang aku harus
meninggalkan semuanya untuk itu. Aku berlalu semakin tak memperdulikan apapun.
Di depan kamar, aku melihat Mamah
berbaring begitu damai. Ahh.. Kenapa aku selalu luput akan senyum itu. Kucium
kening Mamah lembut dan menyingkap air mataku. Cintaku untukmu, Mah. Dan suatu
saat aku dan kekasihku akan dipersatukan Tuhan, seperti aku dan Mamah sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment