Rayya, film yang jujur telah lama saya tunggu-tunggu. Slentingan-slentingan yang saya dapat sebelumnya, film ini adalah film idealis. Bagi saya ini adalah suatu keberanian yang luar biasa. Kenapa? Saya tak tahu persis berapa lama proses menejemen produksi film ini. Tapi di tengah krisis industri perfilman (menurut saya), memproduksi film idealis (lagi) apakah akan mendulang keuntungan?
Karena kita sudah menginjak ranah industri, jadi bagaimanapun juga tak akan bisa menafikkan hal tersebut. Tapi lagi-lagi saya harus berterima kasih yg sebesar-besarnya kepada pic[k]lock Production dan Mam Production yang masih bisa mempertahankan ideologinya di tengah industri perfilman seperti ini, dan pelajaran yang berharga dapat diambil.
***
“Domba tidak bisa menjadi
serigala, serigala juga tidak bisa jadi domba. Manusia itu hebat. Bisa jadi
serigala, bisa jadi domba.”
Rayya (Titi Sjuman), seorang publik
figur (artis) yang sangat bercahaya, terkenal dan berbakat. Kehidupannya
berjalan baik. Ia begitu cerdas. Sampai pada akhirnya, ia ditinggalkan oleh
kekasihnya. Dan rasa dendam pun menyiksa dirinya. Dendamnya membuat ia selalu
ingin mengakhiri hidupnya. Bagaimana tidak, ia seorang artis yang banyak
dikagumi orang, ia mencintai dan memilih seorang biasa yg penghasilannya
sepersejuta jika dibandingkan dengannya. Tapi, si lelaki itu bertunangan bahkan
di saat mereka belum bersama. Dan Rayya harus ditinggalkan. Sejak saat itu,
Rayya menyimpan dendam untuh membunuh dirinya sendiri.
Rayya tahu banyak hal,
mempertanyakan banyak hal dan mempercayai banyak hal. Ia selalu berjalan di
atas pendiriannya. Ia bahkan memecat Kemal-fotografernya-, karena ia telah
berbohong. Yang menurut Kemal merupakan hal yang sepele, tetapi bagi Rayya itu
adalah hal yang sangat fatal. Ia yg hanya mau melakukan perjalanan dengan
fotografer saja untuk menyelesaikan biografinya, tetap pada pendiriannya. Dan
muncullah Arya (Tio Pakusadewo), fotografer old school yang masih menganut
paham dulu’nya. Pemikirannya luas dan mempunyai permasalahan dengan kesetiaan
cinta sama halnya Rayya. Dimulailah petualangan mereka. Bersama-sama memaknai
perjalanan mereka dengan luka, dendam dan cinta. Bagaimana mereka memaknai diri
dan cerita mereka akhirnya?
***
Film besutan Viva Westi ini sangat
menampilkan Rayya yang Raya. Berbagai sudut Indonesia yang begitu indah
ditampilkan dengan sangat telanjang. Selalu memakai Extreme Long Shot setiap
menampilkan penjuru indah sebagian dari Indonesia, membuat penonton merasa
berada di sana juga, turut serta menikmati keindahannya. Penghayatan kedua
tokoh utama (Titi Sjuman dan Tio Pakusadewo) yang sangat natural membuat
penonton seolah melihat dua anak manusia yang sebenar-benarnya.
Suka sastra? Kalau iya, akan sangat disarankan
menonton film ini. Film ini sangat dibanjiri kalimat-kalimat puitis nan
romantis khas seorang sastrawan. Wajar! Karena Emha Ainun Najib juga menjadi salah
satu penulis skenario film ini. Jangan heran ketika menonton, saat Rayya marah
pun yang keluar dari mulutnya adalah kalimat-kalimat yg penuh makna. Secara
kasat, Rayya bercerita tentang alam raya, manusia, dan agama, tapi tanpa
satupun simbol-simbol tentang agama. Tak ada sentuhan, meskipun berhubungan
dengan cinta lelaki dan perempuan. Tapi jangan menganggap bahwa film ini
membosankan karena banyak “kata-kata njlimet”. Viva Westi mengemasnya dengan sangat
cantik. Dari segala segi. Kita masih bisa tertawa ngakak melihat
adegan-adegannya sambil berdecak kagum tentu saja. ^^
Basic cerita Film Rayya mungkin
memang sederhana. Perempuan dan Laki-laki yang sama-sama mengalami kerusakan
dengan hatinya, berniat memperbaiki hatinya. Endingnya pun seperti yang sudah
di duga. Namun, kemasan yang indah, membuat cerita Rayya ini penuh dengan
kejutan.
Akhirnya, siapapun kamu, punya
dendam, punya cinta, suka sastra, suka fotografi, suka sinematografi, suka Titi
Sjuman, suka Tio Pakusadewo, suka Cak Nun, suka Sabrang, idealispun silahkan
datang ke Bioskop kesayangan anda, untuk menikmati karya sineas film yang akan
membuat kita berfikir “untuk apa sebenarnya kita hidup dan apa yang sedang kita
cari”. RAYYA, CAHAYA DI ATAS CAHAYA
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment