Sembilan...
Nisa mati-matian menghindari Timo dan Kenta. Sudah cukup ia menyakiti dirinya sendiri. Ia singkirkan jauh-jauh kisah hatinya. Akan ambil keputusan apapun, hanya akan menyakiti hatinya dan orang-orang sekitarnya. Rasa sayangnya pada Timo ia buang jauh-jauh. Toh apapun juga keinginan mereka, yang jadi korban tak hanya dirinya. Sudah cukup ia jadi bulan-bulanan atasannya karna ia tak bisa memberikan kerja seperti biasanya. Sudah cukup ia menjadi langganan klinik kantornya gara-gara ia tak cukup menjaga dirinya.
Malam yang semakin larut dan tak sedikitpun terlihat cahaya dari langit semakin membuat Nisa geram. Apakah benar-benar tak ada yang berada di pihaknya kecuali hujan?
Hanyakah hujan yang bisa memberinya ruang untuknya? Nisa tak ingin memberikan batas antara dirinya dan hujan. Ia ingin terus bersahabat dengan hujan terlebih malam ini. Toh takkan ada yang tau apa dibalik hujan ini? Ya kan?
“Nis.. Berhenti!!” seru Kenta tiba-tiba.
Nisa terkejut. Dari mana Kenta muncul? Sejak kapan ia di sana? Nisa sengaja berputar arah agar ia tak diikuti lagi oleh Kenta.
“Kenapa kamu menghindariku, Nis?” sergah Kenta. Ia cengkram lengan Nisa kuat-kuat.
Tangis Nisa pecah. Ia tak bisa melepaskan cengkeraman Kenta. Bibirnya semakin beku. Ini yang tak ia kehendaki. Kenta yang ia anggap sahabatnya malah ia sakiti.
“Nis. Apa aku salah sayang kamu? Apa aku salah memperdulikanmu? Apa aku salah? Bilang apa salahku, Nis!!” sergah Kenta lagi. Ia sudah semakin tak bisa berfikir jernih lagi. Setelah seminggu Nisa selalu menghindar yang ia sangka hanya perasaannya saja, akhirnya ia benar-benar yakin setelah semua jenis komunikasi diputus oleh Nisa.
Nisa tak bergeming. Tangisnya tak tertahankan lagi. Mau apa lagi ia? Jangankan untuk menjelaskan semuanya, untuk berdiri dengan benar saja ia tak sanggup.Nisa duduk bersimpuh di tengah galau hatinya. Kenta melepaskan cengkeraman tangannya. Ia mengikuti Nisa bersimpuh dijalanan. Di temani hujan yang enggan untuk berhenti. Tangis Nisa tak juga enggan berhenti. Nisa tak berani menatap wajah Kenta yang memaksanya untuk menatap matanya. Tanyan Kenta yang semula untuk mencengkram lengan perlahan ia letakkan jari-jari bekunya ke pipi Nisa.
“Jauhi aku, Ken!” ucap Nisa lirih.
“Untuk alasan apa aku harus melakukannya?” tanya Kenta lagi.
“Tidak ada alasan dan takkan ada alasan, Ken. Mengertilah…” minta Nisa.
Untuk beberapa waktu keduanya terdiam. Mana mungkin Kenta bisa mengerti apa yang terjadi pada hatinya, sementara yang Kenta perdulikan hanya ia yang jadi sahabatnya. Bukan ia yang ada di depannya secara utuh.
“Ini bukan Nisa. Mana Nisa yang asli? Mana??” teriak Kenta sambil menggoncang-goncangkan tubuh Nisa.
Nisa terdiam. Ia tak mampu berkata apapun lagi untuk menghalau rasa sayang Kenta kepadanya. Nisa meringis merasakan lengannya sakit. Ia tak mampu menepis tangan yang mengguncang lengannya itu.
Tiba-tiba ada sebuah tangan merengkuhnya. Menarik tubuh Nisa yang lemah ke dalam pelukan.
“Jangan sakiti Nisa dan jangan ganggu Nisa lagi!!!” ancam lelaki itu.
Kenta terbelalak. Wajah yang sangat ia benci dan tak ingin ia temui itu muncul di hadapannya dan merengkuh Nisanya dari dirinya. Emosinya meluap.
“Tau apa kamu tentang menyakiti, HAH??!!” teriaknya sambil memukul rahang lelaki itu.
Si lelaki menerima saja pukulan Kenta sambil menahan tubuhnya agar tak melukai Nisa. Ia membawa Nisa pergi. Ia papah Nisa perlahan-lahan memasuki mobilnya. Kenta masih mengikutinya dari belakang. Sedang Nisa begitu lemas sampai tidak bisa menghalangi mereka berkelahi.
“Kamu yang seharusnya pergi dari Nisa, bukan aku!! Kamu yang selalu menyakiti Nisa!” teriak Kenta sambil terus memukul lelaki itu.
“Kamu bisa apa Timooo??!!!! Nyakiti Nisa terus??!!! Kembalikan Nisa padaku!!” teriaknya sambil meronta-ronta membuka mobil yang terkunci dari dalam. Timo menarik Kenta dan balik memukulnya!
“Jangan dekati Nisa lagi!!” teriak Timo.
Kenta terjatuh menerima pukulan Timo. Hujan yang masih enggan berhenti menjadi satu-satunya yang dijadikan kawan oleh Kenta. Ia melihat mobil Timo semakin menjauh darinya. Emosinya membuat ia tak merasakan sakit sama sekali ketika ia memukulkan tangannya di aspal.
“Kenapa ke sini?” tanya Nisa lirih. Ia melihat yang di depannya bukanlah rumahnya.
“Astaga Nisaaaa.. kamu kenapa??” tanya Nenek panik. Belum sempat ia Timo menjelaskan, seluruh keluarga berhamburan keluar rumah. Ayah membantu memapah Nisa. Arin membawakan barang bawaan Nisa dari dalam mobil. Raut wajahnya kaku. Perasaan khawatir, sayang, cemburu campur aduk menjadi satu. Saat ia masih belum bisa mencerna keadaan dengan baik, Nisa sudah duduk dan membujuk mereka untuk memperbolehkannya kembali ke rumahnya sendiri.
“Nis, tolong terima permintaan kami…” ucap Nenek lirih.
Nisa tak tahu harus menolak seperti apa lagi. Ia perempuaan. Mana mungkin mau menyakiti sama-sama perempuan.
“Melihat kamu seperti ini, kami malah semakin khawatir. Terimalah pernikahan ini, Nis,” pinta Nenek lagi.
Nisa tak bisa berkata apa-apa lagi. Nenek dan keluarga Timo memang sangat menyayanginya. Ia pun sama. Rasa sayangnya ke Timo yang berkali-kali ia coba hilangkan, sama sekali tak membuahkan hasil. Tapi tak berarti ia mau menerima permintaan yang tak masuk akal ini. Ibu dan Ayah Timo sama-sama menunjukkan mimik muka yang sama. Nisa semakin tak tahu harus berbuat apa? Sedang ia sama sekali tak berani menatap wajah Arin. Mana orang yang akan ia sakiti nantinya? Apapun keputusannya nanti, pasti ada yang tersakiti. Ia tak mau itu.
“Iya kak, Arin juga minta kakak mau menerima penerima pinangan Mas,” ucap Arin lirih.
Nisa terbelalak. Ia sangat tak mengharapkan kata-kata itu tak keluar dari mulut Arin. Ia tak habis pikir, apa yang Arin pikirkan?
“Kak, Arin rela kok dimadu. Arin sudah anggap kak Nisa seperti saudara sendiri. Karena itu, dimadu dengan kakak bukan sesuatu yang berat buatku, kak,” kata Arin menjelaskan. Bibirnya bergetar mengucapkannya. Baginya ini adalah usahanya menjadi istri yang istiqomah. Ia yang sebelumnya hadir di antara mereka berdua, sudah sewajarnya melakukan ini. Kondisi kak Nisa belakangan dan sebatangkara seperti dirinya semakin menguatkannya untuk tidak keberatan dengan segala permintaan keluarga suaminya itu.
Nisa terpekur. Drama apa ini, tak pernah ia tahu. Rasa sayang bentuk apa yang membuatnya terjebak di dalam lingkaran ini? Nisa membenamkan dirinya dalam tangannya. Tangisnya pecah.
---
0 komentar:
Posting Komentar or Reply Comment